Virus penyebab Middle East respiratory syndrome (MERS) kini hanya berjarak tiga jam perjalanan dari Jakarta. Pemerintah Thailand pekan lalu mengumumkan bahwa negara mereka terinfeksi virus penyebab penyakit pernapasan akut itu lewat seorang pendatang dari Oman. Ini merupakan kasus MERS pertama di Thailand. Dengan adanya temuan ini, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat 1.334 kasus MERS di 26 negara. Sebanyak 471 di antaranya berujung kematian.
Pemerintah Thailand tergolong trengginas dalam mengatasi keadaan ini. Warga Oman itu dipastikan terinfeksi MERS hanya lima hari setelah ia tiba di Bangkok. Orang lain yang terindikasi mengidap MERS diisolasi hingga dipastikan terpapar virus itu. Para pendatang, terutama dari Timur Tengah-tempat virus ini berasal-diamati dengan saksama. Otoritas Thailand mengkarantina 59 orang yang pernah melakukan kontak dengan penderita MERS, termasuk sopir taksi yang membawa pasien dari bandara.
Thailand memang tak asing dengan wabah penyakit mematikan. Beberapa tahun lalu mereka pernah terpapar SARS dan flu burung. Isu MERS sendiri tak asing bagi negara itu. Sebelum ada pendatang yang dipastikan terundung MERS, sepanjang tahun ini tak kurang ada 36 kasus dugaan MERS meski belakangan dinyatakan negatif.
Thailand tampaknya belajar dari Korea Selatan-negeri dengan jumlah penderita MERS terbesar di luar negara Arab. Umumnya pasien MERS di Korea juga terinfeksi setelah pulang dari negara Arab. Di Korea, 16 dari 23 penderita meninggal. Hingga saat ini penularan MERS di Korea masih berlangsung.
Indonesia tak boleh menganggap remeh ancaman MERS. Sebagai negara dengan mayoritas muslim, lalu lintas orang dari dan ke Timur Tengah sangat tinggi, terutama pada bulan puasa-yang diyakini merupakan salah satu masa terbaik untuk beribadah umrah. Kemungkinan masuknya virus dari Thailand dan Korea Selatan harus pula diwaspadai, hingga WHO menyatakan kedua negara itu bebas dari MERS.
Pintu masuk ke Indonesia, terutama bandara, harus diawasi dengan ketat. Di Korea Selatan, pengidap virus itu lolos karena petugas bandara abai. Mereka menganggap penderita MERS hanya sakit pneumonia biasa. Kelalaian itu tidak boleh terjadi di Indonesia. Pemerintah selayaknya segera memasang alat pemindai panas badan bagi penumpang pesawat, terutama yang datang dari negeri terpapar MERS. Ditempatkan di beberapa bandara besar, alat pindai itu kini mangkrak tanpa manfaat. Dulu alat itu dipasang ketika wabah flu burung tengah merebak.
Strategi "hangat-hangat tahi ayam" itu harus segera diakhiri. Kementerian Kesehatan selayaknya menjadi motor pencegahan. Mereka dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah, pengelola bandara, dan polisi. Pelatihan yang sungguh-sungguh harus diselenggarakan kepada petugas dan warga yang berpotensi terpapar, misalnya jemaah umrah dan mereka yang bepergian ke daerah yang terjangkit MERS. Petugas bandara yang lalai dan menganggap remeh harus diberi sanksi.
Kita tidak boleh main-main dalam menghadapi MERS. Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna.