Kisruh taksi Uber kian menegaskan betapa regulasi pemerintah selalu tertinggal oleh teknologi. Taksi Uber, yang beroperasi melalui aplikasi di gawai, tak tertampung aturan sehingga penghasilan atas bisnis jasa antar-jemput penumpang itu tak terdeteksi pajak.
Sejak beroperasi di Jakarta dan Bandung pertengahan tahun lalu, transaksi taksi Uber tak melewati tangan pemerintah. Transaksinya dilakukan melalui kartu kredit. Berdasarkan rumus yang telah ditentukan, penerbit kartu meneruskan 80 persen pembayaran penumpang ke rekening sopir, sisanya ke rekening Uber BV di Belanda.
Sopir Uber juga hanya berhimpun di Koperasi Trans Usaha Bersama, yang tak ditunjuk secara resmi oleh Uber. Mereka yang menjadi anggota Koperasi adalah pemilik perusahaan sewa mobil dan pemilik mobil pribadi. Pajak yang mereka bayar hanya pajak kendaraan dan pajak penghasilan, bukan pajak jasa yang memakai sarana umum.
Masuk akal jika pemerintah Jakarta meminta Uber membuka kantor cabang. Selain buat memudahkan menagih pajak, kantor cabang didirikan untuk menjamin keselamatan penumpang. Pemerintah bisa mewajibkan cabang Uber membuat standar layanan minimum taksi. Sebab, dari 855 unit, pelayanannya berbeda, bergantung pada kiat sopir menggaet penumpang.
Para sopir berlomba memberikan layanan terbaik karena ada rating yang harus diisi oleh penumpang setelah memakai jasanya. Rating inilah yang akan diinformasikan kepada banyak pelanggan sehingga menjadi rekam jejak sopir dan taksinya. Ini semacam perlombaan kebaikan antar-sopir. Tapi, di sisi lain, tak ada standar layanan sehingga tidak bisa dijadikan patokan bagi konsumen ketika terjadi perselisihan.
Siasat Organisasi Angkutan Darat Jakarta keterlaluan. Mereka menjebak lima taksi dengan cara memesannya lalu menggiring mereka ke Kepolisian Metro Jakarta. Organda meminta polisi menjerat para sopir ini dengan pasal penipuan. Patut disayangkan jika polisi mengabulkan permintaan tersebut. Sopir ditahan, penyidikan dilanjutkan.
Tuntutan Organda terlalu mengada-ada. Tuduhan penipuan hanya didasari kenyataan bahwa sopir Uber tak memiliki SIM A untuk mengangkut penumpang, karena mobil berpelat hitam. Masalahnya, siapa yang ditipu oleh sopir-sopir itu? Penumpang jelas tidak dirugikan, karena sistem aplikasi justru menjamin ketepatan pemesanan dan pembayaran yang transparan lantaran tagihan dikirim ke surat elektronik.
Sopir taksi Uber juga tak mengambil penumpang di pinggir jalan. Karena itu, mereka bukan obyek Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Toh, transaksi terjadi atas kesadaran penuh penumpang dan sopir. Cara beroperasinya ibarat penumpang menyewa mobil yang pembayarannya per kilometer jarak tempuh.
Tak ada gunanya menyalahkan Uber. Bisnis seperti ini lazim di zaman Internet. Pemerintah hanya perlu menyediakan aturan yang mengadopsi perkembangan zaman ini. Panggil saja pemilik aplikasinya, lalu bicarakan persentase pajak yang harus mereka bayar. Setelah itu, biarkan Uber menguber penumpang.