Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Jokowi dan Marhaenisme

image-profil

image-gnews
Iklan

Muhidin M. Dahlan, kerani @warungarsip

Katakanlah Presiden yang Terhormat Jokowi adalah petugas partai bernama PDIP. Benarkan sajalah bahwa PDIP-dan di dalamnya Jokowi-adalah pewaris sah ajaran politik Sukarno.

Dan itu bisa kita konfirmasi, selain genetika darah Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri, bisa dibaca dari frase-frase yang dilekatkan dalam paras pemerintahan Jokowi: "nawacita", "kabinet kerja", dan "trisakti". Frase-frase yang pernah menjadi lingua franca politik pada era Sukarno itu dihidupkan kembali di Istana Merdeka.

Mestinya, jika ingin menghidupkan Sukarno, hidupkan dalam kebijakan harian sukma ideologi yang dicetuskannya: marhaenisme. Apa dan siapa kaum marhaen itu?

Buka majalah Fikiran Rajat, Nomor 1, 1 Juli 1932, halaman 2, dan biarkan Sukarno sendiri menjelaskannya. Di artikel "Matahari Marhaenisme" itu, Sukarno membedakan secara distingtif antara marhaen dan proletar.

Proletar jalah orang jang "berboeroeh", ja'ni orang jang dengan mendjoeal tenaganja "membikin" sesoatoe "barang" oentoek orang lain (madjikannja), sedang ia tidak ikoet memiliki alat2 pembikinan "barang" itoe.

Berangkat dari pengertian itu, Sukarno kemudian menunjuk profesi-profesi yang menjadi domain proletar, seperti letterzetter, masinis, dan bahkan insinyur teknik karena ia "mendjoeal tenaganja, sedang kantor atau besi-besi atau semen jang ia peroesahakan itoe boekan miliknja. Insinjoer itu proletar intelektoewil."

Lalu, di golongan mana mereka yang memiliki alat produksi sendiri, menggarap di atas tanah sendiri, tapi tetap saja melarat, itulah kaum marhaen. Sukarno menyebutkan kaum marhaen itu adalah kaum tani yang jumlahnya jutaan. "Barang siapa yang berpihak pada kaum melarat itu, kaum marhaen itu, kaum tani itu, mereka adalah marhaenis," kata Sukarno.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebelum Sukarno mengambil alih perjuangan petani menjadi ideologi gerakannya, kaum ini sudah berjibaku dalam pasang-surutnya gerakan pembangkangan. Sebagaimana dicatat Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888, di daerah paling barat Pulau Jawa itu sepanjang abad ke-19 sesak oleh cerita pemberontakan petani.

Bahkan arus itu menjadi sangat besar jika kita memasukkan Java Oorlog sebagai rantai pemberontakan petani terbesar di Jawa yang dipimpin Diponegoro. Pemberontakan petani pada 1825-1830 itu boleh dibilang nyaris membangkrutkan VOC.

Puncaknya adalah pemberontakan kaum petani yang dipimpin PKI di pelbagai kota di Jawa dan Sumatera pada 1926 yang kemudian berakhir dengan kekalahan memilukan.

Bukan deret ukur kekalahan itu yang menjadi titik urgennya, melainkan bagaimana petani ini diperlakukan dalam sejarah saat mereka memperjuangkan hak dan menaikkan taraf kelasnya dari kemelaratan.

Jokowi dan partainya mesti memegang kendali panggung yang sudah ada di tangannya, di mana petani-petani resah saat ini. Bukan hanya resah soal pupuk bersubsidi. Bukan hanya jumlah keluarga petani susut rata-rata 500 ribu rumah tangga per tahun. Jokowi dan PDIP mestinya berada di saf pertama mengajeni petani saat terlibat memperjuangkan hak-hak tanah dan airnya.

Kasus keresahan petani Rembang/Pati, Kulon Progo, Kebumen, Karawang, dan Takalar adalah uji kadar marhaenisme Jokowi dan partai pewaris nilai-nilai Sukarno tempat ia bernaung. Atau momentum historis Presiden Ketujuh RI ini hanya dikenang sejarah sekadar mengalahkan Prabowo Subianto di gelanggang pemilu. Lain tidak! *


Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Konflik PDIP Surabaya, Risma: Saya Tak Ngerti, Saya Tak Tau...

12 Juli 2019

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. TEMPO/Fajar Januarta
Konflik PDIP Surabaya, Risma: Saya Tak Ngerti, Saya Tak Tau...

Risma menegaskan dirinya tidak mau ikut campur polemik di tubuh Dewan Pimpinan Cabang PDIP Surabaya.


Kepengurusan Baru DPP PDI Perjuangan Dikecam

11 April 2015

Sejumlah kader menyaksikan Ketua umum PDI Perjuangan terpilih Megawati Soekarnoputri, memberikan pidato dalam Kongres IV PDI Perjuangan, di Inna Grand Bali Beach Sanur, Denpasar, 9 April 2015. Megawati Sukarnoputri kembali terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDIP periode 2015-2020. TEMPO/Imam Sukamto
Kepengurusan Baru DPP PDI Perjuangan Dikecam

Sebanyak 26 kader PDIP dipercaya Megawati sebagai pengurus DPP PDIP. Dua di antaranya, Idham Samawi dan Bambang DH, merupakan tersangka kasus korupsi.


Pramono Anung Dipastikan Tak Maju Ketua Umum PDIP, Kenapa?

7 April 2015

Wakil Ketua DPR yang juga Ketua Southeast Asian Parliamentarians Against Corruption (SEAPAC) Pramono Anung. Tempo/Tony Hartawan
Pramono Anung Dipastikan Tak Maju Ketua Umum PDIP, Kenapa?

Pramono Anung dipastikan tak akan maju sebagai kandidat Ketua Umum dalam Kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Bali.


Puan Maharani Yakin Trah Sukarno Tetap Pimpin PDIP

2 April 2015

Panitia Rakernas PDIP Puan Maharani, saat berikan pidato pembukaan pada Rakernas PDIP III di Ancol, Jakarta (06/09). TEMPO/Dasril Roszandi
Puan Maharani Yakin Trah Sukarno Tetap Pimpin PDIP

Hampir separuh kader menganggap PDIP bisa dipimpin orang luar.


Kaderisasi di PDIP Mirip Pergantian Kulit Manusia

1 April 2015

Seorang anak membawa bendera partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam kampanye perdana di Stadion Cendrawasih, Jakarta Barat, (16/3). TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat
Kaderisasi di PDIP Mirip Pergantian Kulit Manusia

Ketua PDIP DIY Bambang Praswanto mengatakan regenerasi di PDIP mirip proses pergantian kulit manusia.


Kongres PDIP Akan Digelar di Bali, Ajang Mengkritik Jokowi  

14 Maret 2015

Kongres PDIP di Sanur Bali. TEMPO/Subekti
Kongres PDIP Akan Digelar di Bali, Ajang Mengkritik Jokowi  

Kongres IV partai banteng oncong putih yang akan digelar di Denpasar pada 9-12 April tetap akan mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo.


Kader PDIP Berkelahi Rebutan Jadi Ketua, Megawati Ambil Alih

14 Maret 2015

Eddy Rumpoko (tengah). TEMPO/Aris Novia Hidayat
Kader PDIP Berkelahi Rebutan Jadi Ketua, Megawati Ambil Alih

Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Bidang Program Achmad Basarah mengatakan penunjukan Eddy diputuskan dalam rapat pleno.


Tjahjo: Jokowi Tak Akan Lari Tinggalkan PDIP  

4 Februari 2015

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, beri keterangan pers terkait kebijakan dan agenda prioritas Kemendagri, di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, 6 Januari 2015. TEMPO/Imam Sukamto
Tjahjo: Jokowi Tak Akan Lari Tinggalkan PDIP  

Projo berencana membuat partai baru bagi Jokowi.


Saran untuk Jokowi, Masuk KMP atau Bikin Partai Baru?

4 Februari 2015

Presiden Joko Widodo, berjalan bersama Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto (kiri), usai pertemuan tertutup di Istana Kepresidenan Bogor, Jabar, 29 Januari 2015. Jokowi dan Prabowo, bertemu dalam rangka silahturahim dan membicarakan masalah terkini bangsa. ANTARA/Widodo S. Jusuf
Saran untuk Jokowi, Masuk KMP atau Bikin Partai Baru?

PDIP dinilai kerap merongrong Jokowi.


Jika Jokowi Bikin Partai, PDIP Kehilangan Figur?  

3 Februari 2015

Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla bersama ketua umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan ketua DPP PDIP Puan Maharani (kiri), dalam pembubaran tim kampanye nasional Jokowi-JK, di Posko Pemenangan, Jakarta, 29 Agustus 2014. TEMPO/Imam Sukamto
Jika Jokowi Bikin Partai, PDIP Kehilangan Figur?  

Kata Puan, "Kalau ada massa dan nama partainya lalu disahkan pemerintah, ya, boleh-boleh saja."