Dian Ediana Rae,
Direktur Eksekutif, Kepala Departemen Regional 1 - Sumatera, Bank Indonesia
Beberapa penulis mengemukakan bahwa krisis moneter dan keuangan di Asia pada 1997-1998, selain disebabkan oleh sistem keuangan yang terbelakang (antiquated financial system), sistem keuangan yang sangat bergantung pada bank komersial yang highly leveraged, juga akibat adanya regulasi yang buruk. Ketiga masalah tersebut tidak lagi dapat menopang pertumbuhan ekonomi yang tinggi (Philippe F.Delhaise, 1998). Infrastruktur pasar dan kebijakan otoritas dewasa itu tidak lagi memadai untuk menghadapi realitas yang berkembang dalam tingkat nasional maupun internasional (Mohamed El-Erian, 2008). Karena itu, diperlukan pendalaman pemahaman aspek regulasi perbankan ini untuk mengoptimalkan kinerja perbankan dalam perekonomian kita.
Evaluasi mengenai regulasi ini juga penting dilakukan setelah lebih dari satu tahun Indonesia melakukan perubahan kelembagaan otoritas pengawas, yaitu dengan dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Desember 2013. Dalam waktu bersamaan, terjadi penyesuaian peran Bank Indonesia sebagai bank sentral Republik Indonesia.
Regulasi keuangan sangat penting untuk mendukung kegiatan perekonomian mengingat perannya dalam memastikan para pelaku di sektor keuangan bertindak secara adil dan berhati-hati dan tidak menimbulkan distorsi serta risiko sistemik terhadap perekonomian (Jeffrey Carmichael AO, 2014). Era bank bebas (free banking), yaitu suatu ideologi yang menganggap bahwa bank harus bebas dan tidak dibatasi aktivitasnya, dan pemerintah hanya dapat ikut campur seminimal mungkin, sudah berakhir.
Beberapa kali krisis keuangan-ekonomi global maupun domestik telah mengajarkan bahwa anggapan industri perbankan dapat mengatur dan mengendalikan dirinya sendiri tidaklah benar. Naluri para bankir untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi pemegang saham bank, para pengelola bank, dan pihak lainnya telah mengakibatkan terjadinya banyak rekayasa keuangan dan hukum yang membahayakan kesehatan bank dan sistem keuangan. Kehancuran ekonomi dan biaya penyelamatan bank yang sangat besar akibat perilaku yang tidak bertanggung jawab ini telah dirasakan di banyak negara, termasuk di Indonesia. Kondisi ini telah mengakibatkan campur tangan yang semakin intrusif dari pemerintah terhadap perbankan sebagaimana terjadi di Eropa dan Amerika Serikat.
Selama ini, ketidakpastian/ketidakjelasan hukum dan regulasi juga merupakan salah satu sumber kelemahan dalam infrastruktur keuangan Indonesia. Hal ini juga disinyalir menjadi salah satu penghambat pendalaman pasar keuangan di Indonesia, dan mengganggu kinerja perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Untuk itu, kita perlu membangun infrastruktur hukum dengan sekuensi dan konsistensi yang benar, memilih di area mana regulasi harus dilakukan, memilih bentuk instrumen dan pendekatan regulasi yang akan digunakan, serta sistem penegakan (enforcement) regulasi yang tepat.
Dengan melihat berbagai kasus di berbagai negara dan Indonesia, beberapa hal yang penting untuk mulai kita perkenalkan di Indonesia, selain fungsi regulasi yang selama ini kita kenal seperti prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen, adalah bahwa regulasi perbankan diperlukan juga untuk dapat mengendalikan penyalahgunaan (abuse) kekuatan keuangan bank untuk dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah dan otoritas, baik secara langsung maupun tidak langsung, secara individu ataupun bersama-sama. Pada waktu bersamaan, perlu juga diterapkan regulasi yang dapat mencegah masuknya kepentingan politik (yang buruk) ke dalam sistem perbankan, baik secara langsung melalui pemilikan saham bank maupun secara tidak langsung melalui pengaruh yang dimiliki terhadap otoritas perbankan.
Tujuan utama regulasi perbankan bukan semata-mata untuk menjamin kesehatan individu bank, tapi juga untuk menjaga stabilitas sistem keuangan secara menyeluruh, efektivitas kebijakan moneter, dan kelancaran serta keamanan sistem pembayaran.
Pemisahan pengawasan makro dan mikro-prudential yang menjadi salah satu pesan utama Undang-Undang OJK tidak bisa menafikan bahwa kedua lembaga ini (BI dan OJK) harus memberikan perhatian yang sama terhadap aspek regulasi makro-mikro. Bank Indonesia sebagai bank sentral dan lender of the last resort tidak bisa menafikan kebutuhan operasi kebijakannya melalui sistem perbankan.
Karena itu, efektivitas regulasi yang diterapkannya akan sangat bergantung pada kesehatan secara mikro individu masing-masing bank. Hal yang sama tentu saja berlaku untuk OJK yang tidak boleh menafikan persoalan kesehatan dan stabilitas makro demi menjaga perkembangan individual bank-bank yang berada dalam pengawasannya. Komplikasi regulasi makro-mikro ini sebenarnya sudah bisa diperkirakan pada saat sebelum diberlakukannya undang-undang OJK.
Melihat kondisi ini, untuk mendukung implementasi Undang-Undang OJK dan Undang-Undang Bank Indonesia dengan baik, cohesiveness dan coherence dari regulasi perbankan menjadi persoalan yang lebih penting daripada persoalan pemisahan kewenangan pengawasan makro dan mikro itu sendiri. Karena itu, regulasi yang dikeluarkan harus semakin mendekatkan jarak koordinasi dalam formulasi dan implementasi kebijakan antara Bank Indonesia sebagai otoritas macro-prudential dan OJK sebagai otoritas micro-prudential.
Sementara itu, persoalan "arbitrage regulasi" juga akan tetap mewarnai perkembangan investasi dan perdagangan internasional, termasuk di sektor keuangan ini. Regulasi yang baik akan membantu memperbaiki iklim berusaha dan iklim perekonomian secara umum, dan memantapkan posisi Indonesia di tengah-tengah globalisasi dan integrasi ekonomi yang saat ini sedang berlangsung.
Kita harus cermat dalam memilih dan menetapkan format kelembagaan dan regulasi terhadap sektor keuangan dengan mempertimbangkan kondisi obyektif perekonomian, politik, dan hukum. Kita berharap bahwa RUU Perbankan yang segera akan dibahas DPR dapat menjabarkan persoalan-persoalan regulasi di atas dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan negara dan masyarakat Indonesia. Hanya dengan sistem regulasi yang baik, peran dominan perbankan sebagai sumber pembiayaan pembangunan dapat dioptimalkan.*