Pemerkosaan terhadap seorang wanita oleh sopir angkutan kota, akhir pekan lalu, sekali lagi menunjukkan buruknya penataan angkutan umum di Jakarta. Tak hanya kesemrawutan lalu lintas yang ditimbulkannya, tapi juga soal keamanan. Seringnya kejahatan di angkot menjadikan moda transportasi penting ini lahan subur kejahatan. Harus ada pembenahan serius agar kejahatan di angkutan umum tak terus terjadi.
Pemerkosaan itu terjadi tengah malam ketika NA, karyawati perusahaan swasta di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan, hendak pulang ke rumahnya di Pasar Rebo, Jakarta Timur. Ia menghentikan angkot D01 yang sedang melintas tanpa penumpang. Di tengah jalan, sopir angkot memperkosa dia setelah mengancam akan membunuhnya. NA dilepas tak jauh dari situ, lalu dalam kondisi setengah pingsan ditolong sopir taksi yang melintas.
Kisah begini sudah berulang kali terjadi, dan polisi biasanya bertindak cepat. Pemerkosa NA ditangkap, seperti juga pelaku kasus-kasus serupa sebelumnya. Lalu, seperti rutinitas, polisi pun memperketat patroli pada malam hari. Kapolda Metro Jaya Irjen (Pol) Tito Karnavian juga berniat mengumpulkan pengelola angkot. Tujuannya, mengajak bersama-sama mengatasi kejahatan brutal ini.
Gerak cepat polisi itu bagus. Namun langkah yang dilakukan semestinya bukan hanya reaktif. Beberapa kasus sebelumnya membuktikan pengetatan keamanan hanya berdampak sebentar. Saat patroli kembali "normal", kejahatan serupa berulang.
Kita paham jumlah tenaga kepolisian terbatas. Saat ini rasio polisi dibanding jumlah penduduk untuk kota besar Indonesia adalah 1 berbanding 575. Angka ini jauh dari standar ideal, yakni 1 : 300. Rasio itu makin jomplang di wilayah Polda Metro, yang selain disesaki warga Jakarta, Tangerang, dan Bekasi, juga dipenuhi para penglaju dari pinggiran kota.
Dengan tenaga terbatas, polisi semestinya bisa menetapkan prioritas pengamanan. Pola kejahatan angkutan umum nyaris serupa: terjadi pada malam hari, sebagian besar di angkot, dan korban umumnya pekerja perempuan yang pulang malam. Pola inilah yang perlu diberi perhatian khusus. Seharusnya Polda Metro rutin mengawasi area-area para karyawan pulang malam dan jalur-jalur angkot yang rawan.
Mengumpulkan pengelola angkot juga tak akan banyak membantu. Angkot bukanlah taksi yang dikelola rapi. Banyak angkot dikelola perorangan. Itu pun sebagian tanpa izin, bahkan pengemudinya adalah "sopir tembak" (sopir pengganti). Akan lebih efektif bila polisi kembali mengaktifkan razia mencopot kaca gelap angkot, yang dulu pernah gencar dilakukan namun belakangan mengendur.
Dinas Perhubungan DKI juga perlu turun tangan. Razia kelayakan angkot perlu pula dilakukan malam hari, bukan hanya saat hari terang. Aturan lebih ketat perlu juga dibuat. Salah satunya, mewajibkan angkot memiliki lampu kabin penumpang yang terang. Dengan cara ini, akan mudah terlihat bila terjadi kejahatan di dalam angkot. Polisi dan pemda DKI tak boleh membiarkan angkot berubah jadi angkutan horor bagi penumpangnya.