Tak terlalu mengejutkan apabila Badan Pemeriksa Keuangan memberikan predikat wajar dengan pengecualian terhadap laporan keuangan DKI Jakarta tahun 2014. Kategori yang menunjukkan adanya ketidakwajaran dalam item tertentu namun tak mempengaruhi kewajaran laporan keseluruhan ini, antara lain, diberikan akibat hilangnya satu demi satu aset Ibu Kota.
Selain yang sudah hilang, cukup memprihatinkan mendapati ada sekitar 15 lahan milik Jakarta yang sampai sekarang masih terlibat sengketa di pengadilan. Nilai totalnya hampir Rp 8 triliun, meliputi luasan sekitar 1,5 juta meter persegi. Dari semua lahan itu, lebih dari 67 ribu meter persegi lahan dengan nilai Rp 259 miliar sudah melayang dari tangan pemerintah Jakarta. Bila aset yang tersisa tidak ditangani dengan baik, bukan tidak mungkin lahan DKI itu akan "lenyap" pula.
Lihat saja Taman BMW di Tanjung Priok yang kini ditangani pengadilan. Taman Bersih, Manusiawi, dan Wibawa itu sejak 1994 diperuntukkan DKI sebagai ruang terbuka hijau. Belakangan, taman itu dikorbankan untuk stadion tempat berlangsungnya Asian Games 2018.
Celakanya, belakangan terungkap pemerintah DKI tidak mengantongi dokumen kepemilikan tanah yang lengkap. PT Buana Permata Hijau menggugat pemerintah DKI ke Pengadilan Tata Usaha Negara, dan pengadilan memutuskan DKI kalah dalam perebutan lahan tersebut pada Januari lalu.
Bukan sekali ini saja pemerintah DKI Jakarta menghadapi masalah dengan asetnya. Pemerintah Ibu Kota bukannya tak menyadari keadaan ini. Ketika Sutiyoso menjadi Gubernur DKI Jakarta, pada 2001 dia membentuk Tim Asistensi Pengamanan Aset, yang bertugas menginventarisasi tanah dan bangunan milik Pemerintah Kota.
Setahun kemudian, tim tersebut menyimpulkan setidaknya ada 15 aset penting Pemerintah Kota yang telah beralih fungsi dan kepemilikan. Namun pemerintah Sutiyoso, Fauzi Bowo, sampai Basuki Tjahaja Purnama rupanya masih belum mampu mempertahankan aset tersebut.
Setidaknya ada tiga hal yang menjelaskan mengapa aset-aset berharga itu lepas. Pertama, dalam beberapa kasus, jelas terlihat bahwa pemerintah Ibu Kota kurang memiliki dokumen yang lengkap dan memadai, sehingga sangat mudah kalah ketika digugat di pengadilan.
Kedua, ada dugaan bahwa Biro Hukum Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang selama ini mewakili pemerintah DKI di pengadilan, kurang mampu memperjuangkan asetnya. Ketiga, beberapa kasus mengindikasikan adanya korupsi dalam kepemilikan tanah yang kini menjadi aset pemerintah DKI, sehingga kepemilikan itu sebenarnya tidak sah.
Dengan melihat ketiga hal tersebut, sudah saatnya pemerintah DKI mendata kembali semua asetnya. Pemerintah juga harus meneliti benar setiap dokumen dan sejarah kepemilikan aset itu. Bila ada dokumen yang kurang lengkap, perlu secepatnya dilengkapi, sebelum ada pihak lain yang menggugat. Pemerintah DKI juga harus membentuk tim hukum yang tangguh, sehingga mampu memberikan perlawanan hukum optimal.
Bila ditemukan korupsi oleh aparatnya, pemerintah DKI tak cukup hanya memecat si pelaku, tapi juga harus menyeretnya ke pengadilan.