Meski rekomendasi Komisi Yudisial agar hakim Sarpin Rizaldi tak menyidangkan perkara (non-palu) selama enam bulan terlalu ringan, keputusan itu layak didukung. Apa pun bentuk pelanggaran kode etik hakim tak boleh dibiarkan menguap. Mahkamah Agung selayaknya menerima rekomendasi ini.
Rekomendasi Komisi Yudisial itu berkaitan dengan putusan Sarpin yang menggemparkan ketika menyidangkan perkara praperadilan Budi Gunawan pada Februari lalu. Sarpin membatalkan status tersangka sang Komisaris Jenderal dengan menerabas undang-undang. Sebelum direvisi Mahkamah Konstitusi, Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata tak memasukkan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan. Artinya, kala itu Sarpin semestinya menolak gugatan Budi.
Komisi Yudisial juga menyimpulkan hakim Sarpin tak profesional dalam menyusun pertimbangan putusan perkara Budi. Sarpin salah menyebut nama dan mengutip keterangan saksi ahli. Kalau untuk urusan sederhana saja Sarpin tak akurat, bagaimana kita percaya dia cakap membuat terobosan hukum acara perdata? Pendapat Sarpin bahwa Budi Gunawan bukan penegak hukum juga bertentangan dengan akal sehat. Pasal 1 dan 15 Undang-Undang Kepolisian jelas menyebutkan bahwa setiap polisi merupakan penegak hukum. Maka, dalil Sarpin bahwa Budi--saat menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier Polri (2003-2006)--tak bisa diusut Komisi Pemberantasan Korupsi karena bukan penegak hukum sungguh mengacaukan logika.
Sikap dan perilaku Sarpin setelah memutuskan perkara Budi Gunawan pun jauh dari keteladanan. Komisi Yudisial menyebut Sarpin tak menunjukkan sikap rendah hati layaknya hakim. Ketika dipanggil untuk mengklarifikasi dugaan pelanggaran kode etik, Sarpin menantang Komisi Yudisial datang ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Padahal, Komisi Yudisial bukan lembaga sembarangan. Wewenangnya mengawasi hakim lahir dari rahim konstitusi kita, Undang-Undang Dasar 1945.
Langkah Sarpin melaporkan dua komisioner Komisi Yudisial ke Kepolisian Daerah Metro Jaya juga berlebihan. Ia menuduh komisioner yang mengkritik lewat media mencemarkan nama baiknya. Yang menarik--ini barangkali di luar perhitungan awal Sarpin--jurus "dewa mabuk" dia justru memberi amunisi baru untuk Komisi Yudisial. Belakangan, Komisi menemukan indikasi kuat bahwa sang hakim menerima gratifikasi ketika melapor ke polisi.
Menurut Komisi Yudisial, Sarpin memakai jasa pengacara swasta secara gratisan. Padahal, Undang-Undang Pemberantasan Korupsi melarang gratifikasi dalam arti luas, termasuk pemberian uang, barang, potongan harga, pinjaman tanpa bunga, sampai berbagai fasilitas pelayanan cuma-cuma. Larangan serupa juga ada dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Kini, tak ada alasan bagi Mahkamah Agung untuk menunda sanksi bagi Sarpin. Meski Komisi Yudisial hanya merekomendasikan sanksi kategori sedang, Badan Pengawas Mahkamah Agung sebaiknya memeriksa Sarpin untuk menelisik adanya kemungkinan pelanggaran lebih berat. Bila ada indikasi tindak pidana korupsi, Mahkamah Agung seharusnya segera menggandeng Kepolisian RI atau Komisi Pemberantasan Korupsi. ?