TEMPO.CO, Jakarta - Faustinus Andrea, Pemerhati Masalah ASEAN dan Editor Jurnal Analisis CSIS, Jakarta
Saling tuduh antara Cina dan Filipina soal pelanggaran kesepakatan kode tata berperilaku informal (DOC) di Laut Cina Selatan semakin panas. Oleh Cina, Filipina dianggap memperkeruh sengketa di LCS dengan membangun infrastruktur baru di sejumlah pulau yang diklaim sebagai milik Cina. Selain itu, Cina berang dan menuduh Vietnam membangun proyek reklamasi di dua pulau di LCS. Perluasan daratan yang dilakukan Vietnam di Sand Cay dan terumbu karang London Barat di Kepulauan Spratly ini terlihat pada foto satelit terbaru yang dirilis Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS), Amerika Serikat, dan oleh Cina dianggap melanggar kedaulatannya.
Persengketaan tersebut terus berlanjut hingga kini. Bahkan, sejak Cina mengklaim wilayah itu, berbagai gejolak sering terjadi di lokasi sengketa. Pernyataan para pemimpin ASEAN dalam KTT ASEAN ke-26 di Kuala Lumpur pada akhir April 2015, yang menyerukan bahwa "reklamasi gugus karang di kawasan sengketa LCS oleh Cina dinilai mengancam perdamaian, keamanan, dan stabilitas di kawasan", pun tidak dihiraukan.
Meski wilayah ini diklaim oleh empat negara ASEAN (Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam) serta Taiwan dan Cina, konflik yang berujung kekerasan sering terjadi antara nelayan Filipina-Vietnam dan nelayan Cina. Insiden demi insiden terus terjadi. Pada akhir April 2015, beberapa penjaga pantai Cina naik ke kapal nelayan Filipina dan membuang ikan hasil tangkapan serta peralatan penangkap ikan mereka. Penjaga pantai itu juga menggunakan meriam air dan merusak kapal-kapal kayu di perairan dangkal Scarborough.Wilayah ini selalu diperebutkan kedua negara tersebut. Insiden lain juga terjadi saat Vietnam berupaya mencegah Cina membangun anjungan minyak di wilayah laut yang diklaim kedua negara. Pejabat Vietnam mengatakan kapal-kapal mereka menjadi sasaran meriam air dan secara sengaja ditabrak oleh kapal Cina.
Kebijakan ASEAN untuk mempercepat proses implementasi DOC, yang seharusnya menjadi pegangan sejumlah negara yang terlibat sengketa LCS dalam DOC 2002 dengan garis acuan DOC 2011, sekali lagi belum berfungsi optimal. Cina sangat asertif dengan mengklaim hampir seluruh wilayah itu, sehingga memicu kecemasan negara-negara ASEAN.
Peran Indonesia dalam ASEAN untuk menawarkan solusi baru guna memecahkan masalah LCS menjadi penting. Peningkatan kapasitas dan mekanisme partisipatif dalam uraian di bawah ini mungkin dapat menjadi solusi alternatif untuk mewujudkan stabilitas dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara.
Pengembangan dan peningkatan kapasitas merupakan kegiatan multi-dimensi yang memerlukan orientasi jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Lantaran kebutuhan pengembangan dan peningkatan kapasitas sangat penting, prioritas awal yang dipilih adalah mengklarifikasi kebijakan dan kerangka peraturan yang berkaitan dengan LCS untuk memecahkan isu-isu yang saling terkait dan ihwal antar-sektor, sebelum berhubungan dengan isu masing-masing sektor dan masing-masing bidang.
Spiritualitas Indonesia dan ASEAN dalam mewujudkan Asia Tenggara yang lebih stabil selalu dideklarasikan dalam sidang-sidang para Menlu ASEAN di DOC. Namun diperlukan koordinasi mendalam untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan dan sasaran kebijakan itu dapat dicapai. Pengembangan dan peningkatan kapasitas untuk mendukung DOC, yang mencakup ruang lingkup yang luas, perlu difokuskan. Solusi alternatif dalam pengembangan kapasitas inilah yang belum dimainkan Indonesia di ASEAN dalam memecahkan konflik LCS.
Sementara itu, mekanisme partisipatif dapat digunakan sebagai salah satu solusi konflik bagi negara pengklaim LCS. Selain diperlukan sebuah regulasi yang mampu mempertemukan titik-titik kepentingan, mekanisme ini dapat memenuhi tuntutan secara demokratis di ASEAN. Meski proses ini tidak mudah dan akan menemui berbagai hambatan sebagai akibat dari permasalahan dalam negeri masing-masing negara pengklaim, Indonesia dan negara ASEAN lainnya bisa menjaga komunikasi antar-anggota pengklaim LCS melalui jalur para Menlu ASEAN. Walhasil, tidak terjadi akumulasi permasalahan yang dapat menghambat proses DOC.
Beberapa rekomendasi kebijakan dapat dikembangkan. Pertama, melansir kembali kebijakan yang mengarah ke formalisasi bentuk pertemuan untuk membahas LCS yang diprakarsai Indonesia. Kedua, Indonesia dapat mengajukan model penyelesaian dalam pertemuan-pertemuan, seperti format Jakarta Informal Meeting, di sela-sela pertemuan Menteri Pertahanan ASEAN (ADMM) atau ADMM Plus 8. Ketiga, Indonesia dan ASEAN perlu menyusun kembali posisi baru ASEAN di LCS, yang berpotensi memicu persoalan yang lebih besar. Keempat, dengan konsensus baru Indonesia dan ASEAN soal mekanisme resolusi, ketegangan di LCS dapat dicegah dan tidak berkembang menjadi konflik bersenjata. Pun Cina tidak lagi dapat mengancam stabilitas ASEAN. *