Putusan Mahkamah Konstitusi melegalkan pencalonan keluarga inkumben dalam pemilihan kepala daerah sungguh memprihatinkan. Putusan yang diketuk pada Rabu lalu itu melanggengkan nepotisme.
Pembatalan Pasal 7 huruf r Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, yang sebelumnya melarang calon kepala daerah memiliki konflik kepentingan dengan kepala daerah inkumben, itu sah-sah saja. Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menguji pasal tersebut terhadap konstitusi. Tapi Mahkamah semestinya memikirkan betapa berbahayanya dampak penghapusan pasal itu. Dengan ketentuan baru itu, bisa dipastikan politik dinasti bakal makin menjamur.
Februari lalu, pasal ini digugat oleh Adnan Purichta Ichsan dan Aji Sumarno karena dianggap mendiskriminasi keluarga pemimpin daerah dan mengebiri hak mereka untuk dipilih. Adnan merupakan anggota DPRD Sulawesi Selatan yang juga putra Bupati Gowa, Sulawesi Selatan, Ichsan Yasin Limpo. Adapun Aji adalah menantu Syahrir Wahab, Bupati Selayar, Sulawesi Selatan.
Politik dinasti sudah lama menjadi momok di negeri ini. Praktek ini cenderung menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Segepok kasus korupsi yang menjerat dinasti politik Tubagus Chasan Sochib di bawah kepemimpinan putrinya, Atut Chosiyah, Gubernur Banten (nonaktif), merupakan contoh nyata buruknya politik dinasti.
Potret buram politik dinasti itu juga muncul di berbagai daerah dengan kecenderungan yang sama. Kajian Indonesia Corruption Watch menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen kasus korupsi di daerah melibatkan politik dinasti. Mudarat politik dinasti bagi negara ini semestinya menjadi pertimbangan serius Mahkamah Konstitusi. Politik dinasti ini seperti kanker, menjalar dengan cepat dan menggerogoti Indonesia.
Dilihat dari kacamata ekonomi, politik nepotisme ini bisa menghambat pertumbuhan ekonomi. Filipina kerap dijadikan contoh sebagai negara yang sulit maju karena terperangkap politik dinasti selama bertahun-tahun. Politik dinasti bakal melahirkan penyelewengan anggaran, korupsi, dan melahirkan perburuan rente. Inkumben akan memberikan kemudahan akses ekonomi bagi kelompoknya sendiri.
Selain penyelewengan anggaran, yang juga membahayakan dari politik dinasti adalah inkumben bisa memanfaatkan kekuasaannya untuk meraup suara. Mereka mempunyai akses untuk memobilisasi birokrat atau kepala dinas demi kemenangan keluarga mereka dalam pemilihan kepala daerah. Sayangnya, hal-hal seperti itu tak menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi.
Putusan telanjur dijatuhkan. Mahkamah Konstitusi telah melanggengkan politik dinasti. Kini, yang bisa dilakukan untuk mencegah meluasnya praktek itu, Badan Pengawas Pemilu Komisi Pemilihan Umum harus membuat aturan sehingga pilkada bisa transparan dan bisa diawasi secara lebih ketat. Mereka juga harus melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk melacak rekening para kandidat.