Prasangka baik tak selalu bisa digunakan dalam semua situasi. Tapi dalam hal narapidana kasus korupsi yang baru selesai menjalani hukuman dan hendak mengikuti pemilu kepala daerah, yang menjadi isu adalah etika. Wajar jika ada kehati-hatian dan prinsip tak gampang membuka kesempatan bagi mereka untuk mengincar jabatan publik lagi.
Sikap itu memang berarti menafikan hak konstitusional eks narapidana korupsi untuk dipilih maupun memilih. Tapi harus dipahami dasar alasan pencabutannya, juga ditutupnya kesempatan bagi mereka mencalonkan diri, seperti yang tercantum dalam Pasal 7 (g) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Pencabutan hak politik bisa dilakukan melalui pengadilan; di sana pula hak itu bisa dipulihkan. Meski tak spesifik, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur kemungkinannya dalam pasal mengenai hukuman tambahan. Komisi Pemberantasan Korupsi melihat hal ini sebagai satu cara memaksa pelaku korupsi menjalani hukuman seberat-beratnya.
Secara aturan, penutupan kesempatan dipilih bagi mereka yang pernah dipenjara karena korupsi juga sangat dimungkinkan. Selain untuk menimbulkan efek jera, tujuannya sebagai perwujudan dari "biaya koreksi sosial". Prinsip ini penting, sebab, dalam banyak kasus, eks narapidana korupsi tak menanggung hukuman sosial apa pun: sekeluar dari penjara, mereka masih bisa menjalani kehidupan dan kemuliaan sebelumnya di tengah masyarakat.
Karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi pada Kamis pekan lalu yang menerima permohonan uji materi Pasal 7 (g) UU Nomor 8 Tahun 2015 justru akan melanggengkan keadaan seperti itu. Bukan tak mungkin akan ada banyak daerah yang dipimpin bekas narapidana korupsi. Kecuali negara ini tak sedang berperang melawan korupsi, yang sudah dianggap sebagai kejahatan luar biasa, hal itu bisa dianggap bukan masalah. Kita menyesalkan Mahkamah seperti menafikan hal ini.
Mahkamah beralasan ketentuan dalam undang-undang itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena memberlakukan diskriminasi. Pembatasan hak bekas narapidana korupsi, menurut Mahkamah, sama saja dengan pemberian hukuman tambahan. Bagi Mahkamah, tidak ada masalah selama bekas narapidana itu menyatakan secara terbuka dan jujur statusnya itu, dan menyerahkan keputusan memilih atau tidak memilih kepada publik.
Putusan ini tak bulat. Dua anggota majelis hakim melakukan dissenting opinion. Mereka menyatakan ada putusan Mahkamah yang mengatur boleh-tidaknya bekas narapidana korupsi menduduki jabatan publik. Poin-poin dalam putusan ini sebetulnya sudah diadopsi dalam UU Nomor 8 Tahun 2015, hanya tidak sebagai norma dalam Pasal 7, melainkan dalam penjelasannya.
Memperhatikan hal itu, tetap ada peluang untuk kembali mengupayakan hukuman berat sebagaimana yang sudah diikhtiarkan oleh KPK. Yang mendesak adalah merevisi undang-undang, bukan cuma UU Nomor 8 Tahun 2015, melainkan juga sebagian Undang-Undang Tipikor. Pencabutan hak politik, menimbang etika maupun hak asasi, harus secara gamblang disebutkan dalam pasal mengenai ancaman hukuman. (*)