Cemooh dan tudingan tajam tiba-tiba menjadi bagian yang tak terpisahkan dari bulan suci yang seharusnya menyejukkan ini. Sejak muncul gagasan Islam Nusantara pada pertengahan Juni lalu, di media-media sosial tampaklah betapa kita telah kehilangan adab dalam berbeda pendapat.
Tersengat istilah Islam Nusantara-yang sengaja memposisikan diri sebagai antitesis terhadap Islam ala Timur Tengah-sejumlah kelompok Islam garis keras pun meradang. Dalam pandangan mereka, Islam itu satu dan universal serta tidak dibatasi batas geografis. Gagasan Islam Nusantara jelas sebuah anomali yang tak bisa dibiarkan berkembang.
Harapan para penggagas Islam Nusantara agar muslim Indonesia percaya diri dan yakin bahwa mengadopsi kearifan lokal tidak akan menggerus keislaman mereka ditanggapi negatif. Gerakan ini dianggap sebagai proyek menusantarakan Islam dan bukan mengislamkan Nusantara.
Isu ini muncul setelah dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Muhammad Yasser Arafat, membaca surat An-Najm dalam langgam Jawa pada peringatan Isra Mikraj di Istana Negara, pertengahan Mei lalu. Sejak itulah muncul kontroversi panjang di antara dua orientasi Islam ini.
Disadari atau tidak, rasa hormat terhadap Ramadan kali ini telah digantikan oleh semangat mengganyang "bayi" Islam Nusantara. Kontroversi semakin panas dan tidak terkendali manakala labelisasi berkonotasi negatif, seperti "liberal", digunakan kelompok garis keras buat para pendukung Islam Nusantara. Sebaliknya, "Wahabi", yang digunakan pihak lawan, ikut meramaikan pertarungan ini.
Kini aksi telah menuai reaksi, dan reaksi kali ini tak bisa dianggap sepi. Presiden Joko Widodo dan Nahdlatul Ulama-organisasi Islam terbesar di negeri ini-secara resmi menyatakan dukungannya terhadap Islam Nusantara. Dukungan ini paling tidak telah menyemangati Islam Nusantara.
Selama ini, negara sering dianggap gagal meredam gerakan-gerakan radikal di Indonesia. Dan posisi NU jelas. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj, dalam diskusi di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, 7 Juli lalu, menyatakan bahwa yang paling penting adalah Islam Nusantara tidak akan mengajari seseorang menjadi radikal serta tidak akan mengajarkan permusuhan dan kebencian.
Sebenarnya, perbedaan di antara dua wajah Islam-yang satu berorientasi ke Timur Tengah dan yang lain mengatasnamakan Nusantara-ini bisa memperkaya khazanah keislaman di Indonesia. Koeksistensi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang berlangsung hampir seabad ini telah membuktikan bahwa kesadaran akan tradisi dan budaya tidak harus berbenturan dengan keinginan kuat untuk membangun Islam yang maju dan modern. Dialektika di antara dua orientasi ini, antara lain, melahirkan wajah Islam yang teduh.
Perbedaan bisa berkembang menjadi konflik horizontal yang sia-sia jika dialog digantikan dengan caci maki dan kelompok yang satu merasa dirinya paling benar. Inilah yang disebut sebagai standing contradiction, yang tak menghasilkan apa-apa kecuali mudarat bagi bangsa dan Tanah Air.