Pernyataan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Budi Waseso, yang mengatasnamakan Presiden Joko Widodo dalam pengusutan perkara dua pemimpin Komisi Yudisial-Suparman Marzuki dan Taufiqurrohman Syahuri-sungguh sangat disesalkan. Selain membohongi publik, sikap itu melampaui kewenangan sebagai anak buah.
Istana telah menyanggah. Menteri Sekretaris Negara Pratikno memastikan Presiden tak pernah memerintahkan polisi untuk segera memeriksa Suparman dan Taufiqurrohman dalam kasus pencemaran nama yang diadukan hakim Sarpin Rizaldi. Instruksi Presiden jelas: Polri diminta segera mengusut tuntas kasus hukum yang bersifat prioritas, yakni kasus besar yang berdampak positif bagi masyarakat.
Yang tidak masuk akal, Budi Waseso mengkategorikan masalah pencemaran nama tersebut sebagai prioritas. Bahkan penyidik telah menjadwalkan pemeriksaan terhadap Suparman dan Taufiqurrohman. Dua pekan lalu, keduanya ditetapkan sebagai tersangka.
Kasus ini bermula dari komentar Suparman dan Taufiqurrohman atas putusan praperadilan hakim Sarpin yang memenangkan gugatan Komisaris Jenderal Budi Gunawan melawan Komisi Pemberantasan Korupsi. Keduanya menilai putusan Sarpin melenceng dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Merasa namanya tercemar, Sarpin melaporkan mereka ke polisi.
Sungguh aneh, persoalan pribadi yang sama sekali tidak beririsan dengan kepentingan khalayak itu menjadi prioritas untuk diselesaikan Bareskrim Polri. Padahal sederet kasus yang jauh lebih penting terpampang di depan mata. Pengusutan kerusuhan di Tolikara, Papua; pembunuhan Angeline; hingga korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia jauh lebih ditunggu masyarakat.
Disengaja atau tidak, kesalahan menginterpretasikan instruksi Presiden itu rasanya lebih tepat disebut "jalan sendiri" alias mbalelo. Apalagi, menurut Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti, Presiden tak pernah memerintahkan pengusutan kasus tersebut. Malah Jokowi mengarahkan penyelesaian dalam bentuk mediasi di antara kedua pihak yang berseteru.
Presiden sebenarnya telah mengutus Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno mengambil alih penanganan kasus hakim Sarpin. Tujuannya, agar polisi fokus pada penyelesaian hukum yang lebih strategis. Apalagi sejumlah kalangan menilai penetapan tersangka itu sebagai kriminalisasi. Tokoh senior Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, misalnya, menyebut langkah hukum ini sebagai upaya balas dendam. Jadi, bukan persoalan hukum, melainkan politik.
Tapi faktanya, mengutus seorang menteri koordinator saja tak cukup. Buktinya, Budi Waseso berani "jalan sendiri". Karena itu, Presiden harus bertindak tegas. Anak buah yang mbalelo tak boleh dibiarkan. Sebaliknya, harus diberi sanksi. Sekali saja sikap mbalelo itu didiamkan, bisa menjadi preseden ke depan. Sikap tegas perlu karena, di mata khalayak, sungguh aneh, bagaimana mungkin seorang perwira polisi dibiarkan membangkang perintah presiden.