TEMPO.CO, Jakarta - Iwel Sastra, Komedian, @iwel_mc
Kita sering mendengar kata "wibawa", tapi tidak semua orang paham dengan kata wibawa, termasuk teman saya yang bernama Wibawa. Secara umum, ketika seseorang mendengar kata wibawa, pasti terbayang sosok pria tinggi besar yang disegani. Padahal, wibawa tidak ada hubungannya dengan tubuh, melainkan bawaan. Pengertian bawaan di sini adalah bawaan dari dalam diri yang memancar keluar. Bukan bawaan dari luar seperti dalam sebuah anekdot bahwa perempuan memilih pria karena wibawanya. Wiii…, bawa mobil, wiii…, bawa uang banyak, wiii…, bawa hadiah mahal, he-he-he.
Arti wibawa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pembawaan untuk dapat menguasai dan mempengaruhi, dihormati orang lain melalui sikap dan tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik. Wibawa sudah menjadi keharusan yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Bahkan, dalam sebuah rumah tangga, seorang suami yang menjadi pemimpin rumah tangga harus memiliki wibawa. Sindiran terhadap para suami yang tidak memiliki wibawa terlihat dari munculnya istilah "ikatan suami takut istri". Seorang teman mengatakan dia bukanlah tipe suami yang takut istri. Seandainya dia mengatakan bahwa dia adalah suami takut istri, maka istrinya pasti marah.
Dalam ilmu kepemimpinan atau bahasa kerennya adalah leadership, disebutkan bahwa wibawa sangat penting dimiliki pemimpin. Wibawa ini terangkai dalam kemampuan berkomunikasi dan ketegasan dalam mengambil keputusan. Salah satu tolok ukur wibawa pemimpin adalah saat mengambil keputusan. Apakah keputusannya didengar dan dijalankan segera oleh bawahannya. Jika seorang pemimpin sudah mengambil suatu keputusan, pendiriannya tidak boleh goyah lagi oleh berbagai pertanyaan seperti "apakah Bapak yakin?" Menghadapi pertanyaan seperti ini, pemimpin yang hebat seharusnya malah semakin yakin. Bukan malah goyah, kemudian menjawab fifty-fifty, ask audience, atau call a friend, memangnya lagi main kuis televisi, wk-wk-wk.
Ketegasan pemimpin dalam mengambil keputusan didasarkan pada dua hal. Pertama, ketika keputusan tersebut diambil, dia sudah paham akibat yang akan timbul. Kedua, keputusan yang diambil berdasarkan rasa keadilan, hati nurani, serta manfaat untuk orang banyak. Kedua hal itu harus dilakukan dengan cepat serta mampu dikomunikasikan dengan baik kepada publik. Dalam keadaan krisis, seorang pemimpin yang tampil di hadapan publik harus sudah memegang keputusan di tangannya. Jangan sampai, pada saat krisis, pemimpin tampil ke hadapan publik dan mengatakan "dalam hal ini saya memutuskan untuk belum memutuskan."
Wibawa pemimpin perlu dipertanyakan seiring dengan munculnya beberapa pemberitaan belakangan ini. Di antaranya, "Badrodin: Tak Ada Matahari Kembar, Saya Pegang Komando" (www.tempo.co pada 22 April 2015) dan "Jokowi Minta Novel Tak Ditahan, Budi Waseso: Jangan Lebay!" (www.tempo.co pada Jumat 1 Mei 2015). Serta beberapa berita lain yang memperlihatkan bawahan yang mengabaikan instruksi pimpinannya. Pemimpin harus mampu memastikan keputusannya dijalankan oleh anak buah. Jangan sampai seorang pemimpin membiarkan dirinya kehilangan wibawa karena anak buah dan hanya pasrah sambil berkata "gue mah gitu orangnya".