Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Pilkada Serentak (Tidak) Murah?

image-profil

image-gnews
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Ikhsan Darmawan, Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI

Baru-baru ini, sedang hangat dibicarakan di media massa adanya ancaman mundurnya jadwal tahapan pemilihan kepala daerah serentak di sejumlah daerah. Sebab, sampai 18 Mei 2015, terdapat sekitar 184 daerah yang belum menandatangani Naskah Hibah Perjanjian Daerah (NHPD) sebagai syarat pencairan anggaran pilkada. Yang paling ekstrem adalah adanya 16 daerah yang sama sekali belum membahas anggaran pilkada, atau dengan kata lain belum memperoleh persetujuan dari pemerintah daerah dan DPRD.

Terlepas dari persoalan krusial di atas, ada satu hal lain yang menarik didiskusikan, yaitu ihwal anggaran penyelenggaraan pilkada serentak. Hal itu berawal dari logika umum bahwa jika pilkada dilakukan secara serentak di ratusan daerah, tidak hanya akan efisien dalam hal waktu, tapi juga dalam hal anggaran. Namun Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dalam Rapat Koordinasi Nasional Persiapan Pilkada 2015 serentak di Balai Kartini, menyatakan nilai anggaran pilkada diperkirakan mencapai Rp 6,7 triliun untuk 269 daerah. Artinya, Tjahjo berpandangan pilkada serentak (pada 2015) lebih mahal daripada pilkada tidak serentak yang diadakan sebelumnya, yang hanya menelan biaya sekitar Rp 5 triliun (Kompas, 4/5).

Mengapa demikian? Apakah benar biaya yang digelontorkan lebih mahal karena dilakukan serentak, atau ada hal lain yang menyebabkan hal itu terjadi?

Jika kita memeriksa payung hukum pilkada yang berlaku, yakni UU Nomor 8 Tahun 2015, kita akan mengetahui bahwa semangat UU Pilkada sudah cukup bernapaskan penghematan dalam hal anggaran. Di mana saja, unsur keiginan mengetatkan anggaran terlihat pada UU di atas. Pertama, dalam hal perubahan sistem dan penetapan calon terpilih sehingga pemilihan dapat selesai dalam satu putaran. Kedua, aturan dalam perpu tentang tahapan penyelenggaraan pemilihan, yang meliputi tahapan uji publik, dihapus. Ketiga, pemungutan suara secara serentak.

Sayangnya, regulasi yang sudah relatif baik itu tidak didukung oleh hal-hal penting lainnya. Lantas, apa saja faktor yang menjadi biang keladi membengkaknya total anggaran pilkada serentak yang rencananya akan digelar di sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota itu?

Penulis berpendapat ada empat faktor penyebab membuncahnya budget untuk pilkada yang menurut aturan bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah. Faktor pertama dan paling krusial adalah kesalahan menerjemahkan arti kata "serentak". Serentak di sini hanya bermakna digelar pada tanggal yang sama, yaitu 9 Desember 2015. Padahal, serentak juga bermakna pemilu nasional, yaitu memanfaatkan banyak item yang sama, kecuali surat suara. Sudah seharusnya pilkada serentak ketika dilaksanakan di satu provinsi yang sama. Penyelenggara memanfaatkan hal-hal yang sama untuk menekan biaya, seperti panitia pemilihan (KPPS, PPK, dan panitia lain), tempat pemungutan suara, petugas pemutakhiran data pemilih, dan lain-lain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Faktor kedua, yang berkaitan erat dengan faktor pertama, adalah pengganggaran ganda untuk satu daerah yang sama untuk hal yang semestinya cukup dianggarkan di salah satu wilayah saja. Kemudian, faktor ketiga, adalah aturan teknis di bawah UU yang justru kurang mendukung aspek penghematan yang sudah diangkat oleh UU. Apabila kita memeriksa Lampiran Permendagri Nomor 44 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Dana Kegiatan Pilkada, akan ditemukan banyak hal yang semestinya tidak perlu dicantumkan atau jumlahnya bisa dikurangi. Hal-hal yang dimaksudkan adalah pencetakan kartu pemilih (dan kartu pemilih tambahan), pemeliharaan kantor, pembentukan kelompok kerja, dan biaya-biaya perjalanan dinas.

Kartu pemilih bukan lagi hal yang wajib karena bisa diganti yang lebih hemat, seperti surat undangan biasa seperti dalam pemilu nasional. Begitu pula dengan  pemeliharaan kantor, yang biasanya sudah dianggarkan dalam APBD setiap daerah oleh masing-masing kepala daerah. Sama halnya dengan dua anggaran lain, pembentukan pokja-pokja bisa saja dipertimbangkan untuk ditiadakan. Adapun dana perjalanan dinas tidak harus sampai dihilangkan sama sekali, tapi jumlahnya harus ditekan.

Faktor terakhir, adanya anggaran baru yang ditanggung oleh APBD, padahal sebelumnya ditanggung oleh partai politik dan calon: dana digunakan untuk debat publik terbuka dan bahan kampanye (selebaran pamflet, poster, alat peraga, umbul-umbul, serta sejumlah iklan komersial lainnya). Penulis menilai faktor terakhir agak istimewa karena walaupun di satu sisi memang meski membutuhkan dana yang tidak sedikit, eksistensinya penting untuk menciptakan kondisi yang adil di antara yang satu dan yang lain.

Karena itu, para pembuat kebijakan perlu segera berpikir dan duduk bersama guna mendiskusikan solusi-solusi yang reliable untuk dapat mengejawantahkan pilkada yang tidak boros biaya.*


Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Kemendagri Mulai Bahas Anggaran hingga Penanganan Pelanggaran Pilkada 2024

51 hari lalu

Personel Brimob Polda Jabar berupaya membubarkan unjuk rasa saat simulasi gabungan pengamanan Pilkada di Indramayu, Jawa Barat, Senin 16 Oktober 2023. Simulasi Sistem Pengamanan Kota (Sispamkota) yang diikuti 800 personel gabungan itu untuk meningkatkan kesiapan petugas yang terlibat dalam Operasi Mantap Brata 2023-2024 dalam menangani gangguan keamanan selama pelaksanaan tahapan Pemilu 2024. ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
Kemendagri Mulai Bahas Anggaran hingga Penanganan Pelanggaran Pilkada 2024

Pilkada Serentak 2024 digelar pada 27 November mendatang, BSKDN Kemendagri mulai membahas persiapan Pilkada.


Penandatanganan NPHD Dana Pilkada 2024 di Sumatera Selatan

6 Desember 2023

Penandatanganan NPHD Dana Pilkada 2024 di Sumatera Selatan

Sumsel Daerah Yang Pertama Kali Lakukan Penandatanganan Serentak NPHD Dana Pilkada Tahun 2024 Provinsi dan Kabupaten/Kota


Kabupaten dan Kota Se-Sumsel Serentak Tandatangani NPHD Dana Pilkada

19 November 2023

Kabupaten dan Kota Se-Sumsel Serentak Tandatangani NPHD Dana Pilkada

Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota Se-Sumsel Serentak Tandatangani NPHD Dana Pilkada


Pilkada 2024, Heru Budi Gelontorkan Dana Hibah Rp 206 Miliar kepada Bawaslu DKI Jakarta

31 Oktober 2022

Ketua Bawaslu DKI Jakarta Munandar Nugraha memberikan keterangan kepada wartawan usai bertemu dengan Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono di Pendopo Balai Kota, Senin, 31 Oktober 2022. Tempo/Mutia Yuantisya
Pilkada 2024, Heru Budi Gelontorkan Dana Hibah Rp 206 Miliar kepada Bawaslu DKI Jakarta

Heru Budi Hartono menyambut baik Bawaslu DKI untuk persiapan Pilkada 2024 dan berkomitmen untuk saling bersinergi.


Wantimpres Bertemu MPR Evaluasi Mekanisme Pilkada Langsung

10 Oktober 2022

Ilustrasi pemilu. REUTERS
Wantimpres Bertemu MPR Evaluasi Mekanisme Pilkada Langsung

Ketua Wantimpres, Wiranto, menyatakan tugasnya hanya memberikan nasihat dan pertimbangan ke Presiden. Soal evaluasi Pilkada belum dibicarakan.


Kemendagri Dorong Kepala Daerah Realisasikan Dana Pilkada 2020

25 Juli 2020

Petugas menyemprotkan cairan disinfektan saat simulasi pemungutan suara Pilkada Serentak 2020 di Kantor KPU, Jakarta, 22 Juli 2020. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar simulasi pemungutan suara dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat sebagai upaya pencegahan COVID-19 dalam Pilkada Serentak 2020 yang digelar pada 9 Desember 2020 mendatang. TEMPO/M Taufan Rengganis
Kemendagri Dorong Kepala Daerah Realisasikan Dana Pilkada 2020

Ada 206 pemda yang sudah 100 persen transfer dana pilkada 2020 ke KPU. Lima Pemda transfer ke KPU kurang dari 40 persen.


Puluhan Pemda Lambat Cairkan Dana Pilkada, Kemendagri Akan Tegur

14 Juli 2020

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menemui Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Balai Kota DKI, 17 Maret 2020. Mereka membahas penanggulangan virus corona di Ibu Kota. Tempo/Imam Hamdi
Puluhan Pemda Lambat Cairkan Dana Pilkada, Kemendagri Akan Tegur

Pencairan dana pilkada yang seret berpotensi mengancam pelaksanaan Pilkada 2020.


Transfer Dana Pilkada Seret, 2 Bupati Kena Semprot Mendagri Tito

10 Juli 2020

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menemui Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Balai Kota DKI, 17 Maret 2020. Mereka membahas penanggulangan virus corona di Ibu Kota. Tempo/Imam Hamdi
Transfer Dana Pilkada Seret, 2 Bupati Kena Semprot Mendagri Tito

Mendagri Tito Karnavian meminta kepala daerah segera melakukan transfer dana Naskah Perjanjian Hibah Daerah untuk pilkada 2020


Beda Mendagri, KPU Usul Tambahan Dana Pilkada Rp 4,7 Triliun

11 Juni 2020

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman usai diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi pada Jumat, 28 Februari 2020. TEMPO/Andita Rahma
Beda Mendagri, KPU Usul Tambahan Dana Pilkada Rp 4,7 Triliun

Usulan KPU ini berbeda dari yang dipaparkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Tito meminta tambahan dana pilkada Rp 1,41 triliun dari APBN.


Mendagri Minta Kepala Daerah Segera Cairkan Dana Pilkada 2020

5 Juni 2020

Ilustrasi TPS Pilkada. TEMPO/Imam Sukamto
Mendagri Minta Kepala Daerah Segera Cairkan Dana Pilkada 2020

Tito Karnavian mewanti-wanti agar pelaksanaan pilkada 2020 dan pencairan anggaran yang dibutuhkannya tidak diperumit dengan politik transaksional.