Keputusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung, yang menghukum Yayasan Supersemar agar mengembalikan aset negara senilai Rp 4,2 triliun, tak boleh berhenti hanya di atas kertas. Sangat mungkin aset yang harus ditagih telah berpindah tangan. Kejaksaan Agung harus bertindak cepat. Inventarisasi semua aset mesti segera dilakukan. Ke mana saja uang Yayasan mengalir juga harus diusut.
Kasus ini bermula ketika negara, lewat Kejaksaan Agung, menggugat Soeharto dan Yayasan Supersemar atas dugaan penyelewengan dana beasiswa. Beasiswa itu justru diberikan ke beberapa perusahaan nasional yang sebagian besar adalah kroni Soeharto. Negara mengajukan ganti rugi materiil US$ 420 juta dan Rp 185 miliar serta ganti rugi imateriil Rp 10 triliun.
Pada Maret 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Yayasan Supersemar bersalah. Putusan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Jaksa dan tergugat kemudian mengajukan upaya kasasi ke MA. Di tingkat ini, pada 2010, MA menghukum Yayasan harus membayar kepada negara sebesar US$ 315 juta dan Rp 139,2 miliar, atau sekitar Rp 4,2 triliun dengan kurs sekarang.
Persoalan muncul ketika terjadi kesalahan dalam pengetikan putusan. MA tidak menuliskan Rp 139,2 miliar, melainkan Rp 139,2 juta alias kurang tiga angka nol. Akibatnya fatal. Putusan tak bisa dieksekusi. Kejaksaan kemudian mengajukan permohonan PK agar salah ketik bisa dikoreksi. Juli lalu, MA mengabulkan PK Kejaksaan.
Seharusnya ini adalah kabar gembira. Namun besar kemungkinan penyitaan aset bakal sulit dilakukan. Kesulitan pertama adalah putusan itu tidak menyebut Soeharto atau ahli warisnya wajib membayar ke negara. Mahkamah berpendapat, kesalahan penggunaan dana dilakukan oleh yayasan, bukan pribadi Soeharto. Selain itu, Soeharto sudah lama meninggal.
Kesulitan kedua adalah pelacakan aset. Yayasan Supersemar memiliki aset yang luar biasa besar. Namun, setelah Soeharto turun lalu digugat atas tuduhan korupsi, sulit memastikan berapa nilai dan di mana saja aset-aset itu terserak. Apalagi pengurus yayasan telah berganti beberapa kali. Nama anak-anak Soeharto pun tak tercatat di yayasan itu.
Itu sebabnya, Kejaksaan Agung harus segera menginventarisasi semua aset tersebut. Pendataan juga harus dilakukan dengan melacak ke mana saja uang Yayasan pernah mengalir. Salah satu contoh, Sirkuit Sentul di Jawa Barat berasal dari tanah yang dihibahkan Yayasan ke Tommy, anak Soeharto. Tanah yang kini telah menjelma menjadi sirkuit balap itu semestinya masuk sebagai harta yang harus disita, walau bisa saja tak pernah tercatat bahwa tanah sirkuit berasal dari hibah Yayasan.
Modus pengalihan aset seperti itu harus dilacak karena bisa saja digunakan pada aset lain. Kejaksaan sebaiknya membentuk tim pelacak dan auditor tangguh. Mereka harus bebas dari kepentingan berpihak kepada Soeharto dan keluarganya. Nilai Rp 4,2 triliun yang menjadi aset Yayasan itu mungkin tak akan semuanya bisa disita. Namun setidaknya sebagian masih bisa diselamatkan.