Rencana pemerintah membangun kereta cepat rute Jakarta-Bandung patut dipertanyakan. Megaproyek berbiaya sekitar US$ 5,5 miliar atau setara Rp 70 triliun ini sebetulnya tak pantas mendapat prioritas. Mengingat masih banyak daerah lain jauh lebih memerlukan infrastruktur transportasi-bahkan untuk yang paling dasar-pembangunan megaproyek kereta cepat itu terasa tidak adil.
Berjarak sekitar 150 kilometer, rute Jakarta-Bandung sudah lama terhubung oleh rel kereta dan jalan tol. Ada beragam alternatif angkutan publik untuk melayani rute ini, termasuk lewat udara. Dalam kondisi lancar, waktu tempuh menggunakan pesawat hanya 20-30 menit. Dengan moda lainnya, waktu tempuh berkisar 2-3 jam.
Tawaran Cina maupun Jepang, yang mengatakan sanggup memangkas waktu tempuh itu menjadi 30-an menit dengan kereta, memang menarik. Tahun lalu, Jepang dengan "murah hati" menghibahkan US$ 15 juta untuk membuat studi kelayakan proyek itu. Cina juga menjanjikan kerja sama dan harga yang tak kalah menggoda. Akan ada banyak kemudahan bagi penduduk kedua kota ini bila jalur kereta cepat itu jadi terwujud. Kita bisa pula bangga karena menjadi bagian dari pengguna teknologi modern itu.
Sungguhpun demikian, kebutuhan sarana angkutan umum tambahan pada trayek Jakarta-Bandung belumlah mendesak dibanding rute di daerah lain. Misalnya, kereta dari dan ke Bandara Soekarno-Hatta, atau jalur yang lebih jauh seperti Jakarta-Yogyakarta-Surabaya, serta pengembangan jaringan kereta di luar Jawa.
Pertanyaan lanjutan yang bersangkut-paut dengan rencana ini adalah sejauh mana pemerintah memiliki rancang bangun atau cetak biru sistem transportasi nasional. Ketika tol Cikampek-Padalarang-Cileunyi beroperasi, PT Kereta Api Indonesia sempat merana kehilangan banyak konsumennya. Mereka terpaksa memangkas frekuensi pelayanan di jalur Jakarta-Bandung, sehingga daya guna jaringan rel serta fasilitasnya tak terpakai maksimal.
Baca Juga:
Masyarakat sudah lelah dengan upaya tambal-sulam dalam membenahi keruwetan transportasi dan mahalnya ongkos logistik. Proyek yang berjalan sendiri-sendiri dan rencana yang tak terintegrasi hanya akan membuat banyak investasi yang sudah tertanam menjadi sia-sia. Belum lagi menghitung pemborosan dan dampak ikutannya yang membebani ekonomi.
Kalaupun pemerintah tetap hendak meneruskan pembangunan kereta cepat itu, harus dipastikan benar negara tak perlu mengeluarkan ongkos di sana, baik secara langsung maupun lewat skema utang. Hanya dengan syarat itu, sisi kurang adil dari proyek ini bisa sedikit terimbangi. Sebab, anggaran negara hanya boleh dipergunakan dengan selalu memperhatikan aspek pemerataan dan menenggang rasa keadilan bagi setiap daerah.
Sudah saatnya pemerintah tak cuma berkutat di Jawa. Kita perlu membangun jaringan kereta di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Jangan lupakan pula perbaikan sistem transportasi publik yang aman, layak, serta murah di Nusa Tenggara dan Papua.