Sudah seharusnya seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak didasarkan pada asas keterwakilan. Pandangan bahwa KPK harus dipimpin pejabat yang mewakili kejaksaan dan kepolisian adalah sesat dan menyesatkan. Menjadikan KPK periode mendatang sebagai ajang "mendamaikan" polisi, jaksa, dan Komisi adalah bentuk pengkhianatan kepada khalayak ramai. Tujuan utama perjuangan KPK adalah memerangi korupsi. Komisi harus dipimpin oleh mereka yang memiliki semangat memberantas korupsi-bukan kandidat yang lembek dan bersedia bernegosiasi dengan koruptor.
Dipakainya prinsip keterwakilan memang tidak secara eksplisit disampaikan oleh Panitia Seleksi pimpinan KPK. Tapi berkali-kali, dalam pelbagai kesempatan, Panitia Seleksi menyampaikan perlunya KPK mendatang memiliki pemimpin dengan latar belakang yang bervariasi-merujuk pada kecakapan penyidikan oleh polisi dan penuntutan oleh jaksa. Saat ini Panitia Seleksi tengah menyeleksi 20 kandidat untuk diperas menjadi delapan calon saja, kemudian disampaikan kepada Presiden. Ditambah dua calon yang telah lebih dulu terpilih, DPR akan menyeleksi seluruh kandidat yang diajukan Kepala Pemerintahan itu.
Patut disadari bahwa Komisi dibentuk lebih dari satu dasawarsa lalu untuk mengatasi mandulnya pemberantasan korupsi oleh kepolisian dan kejaksaan. Kedua lembaga itu justru dianggap merupakan sarang koruptor, sehingga tidak mau bersungguh-sungguh memberantas korupsi. Itulah sebabnya Panitia Seleksi semestinya tak risau jika hubungan antara KPK, polisi, dan jaksa tidak harmonis. Ketiganya memang selayaknya dibiarkan berkompetisi.
Sejumlah konflik KPK dengan kepolisian semestinya memperkuat tekad Panitia Seleksi untuk mencari kandidat pemimpin yang tak mudah goyah. Konflik antara polisi dan KPK bagi sebagian orang mungkin traumatis. Tapi hal itu tidak boleh menyurutkan langkah.
Belum hilang dari ingatan bagaimana Kepala Badan Reserse Kriminal Polri-ketika itu dijabat oleh Komjen Susno Duadji-mengatakan bahwa KPK telah menyadap petinggi Polri yang berlanjut dengan penetapan tersangka dua pemimpin KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Rangkaian kejadian ini kemudian dikenal dengan istilah Cicak Versus Buaya I.
Pada 2012, perseteruan antara Polri dan KPK kembali terjadi saat Komisi menangani kasus korupsi pengadaan simulator SIM dengan menjerat Kepala Korps Lalu Lintas saat itu, Irjen Djoko Susilo. Menghadapi ancaman ini, Polri pun membalas dengan mengusut kasus penganiayaan pencuri sarang burung walet dengan sasaran penyidik KPK, Novel Baswedan. Rangkaian kejadian ini dikenal dengan istilah Cicak Versus Buaya II.
Pada awal 2015, hubungan kedua lembaga penegak hukum itu kembali memanas setelah KPK menjerat calon Kepala Polri, Komjen Budi Gunawan, dengan kasus dugaan penyelewengan kepemilikan rekening gendut. Sebagai balasan, kepolisian kemudian mengusut kasus pidana pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, serta penyidik Novel Baswedan.
Kecenderungan Panitia Seleksi untuk memaksakan masukan unsur polisi dan jaksa harus dicegah. Panitia mesti konsisten menilaikan kandidat tanpa menggubris asal-usul mereka. Panitia harus mencoret calon yang nakal, tak cakap, apalagi terindikasi korup dan memiliki rekening gendut. Calon polisi dan jaksa sudah seharusnya mendapat perhatian ekstra. *