Akhirnya panitia seleksi menyerahkan delapan nama kandidat pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi kepada Presiden Joko Widodo. Hasil kerja panitia yang diketuai oleh Destry Damayanti itu perlu disorot, terutama menyangkut figur yang dipilih. Masih ada calon yang kurang tepat untuk memimpin lembaga yang diharapkan tetap menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi itu.
Seorang calon yang terkesan mengecilkan peran KPK justru diloloskan dan diproyeksikan untuk memimpin penyidikan. Dalam wawancara terbuka dengan anggota panitia seleksi, si kandidat jelas mengatakan bahwa KPK tak boleh memonopoli kasus dan harus menguatkan fungsi sebagai mekanisme pendorong kinerja kepolisian serta kejaksaan. Ia juga mengatakan penyidikan menjadi jatah kepolisian, dan penuntutan merupakan urusan kejaksaan.
Panitia seleksi semestinya tidak meloloskan calon yang berpotensi memandulkan fungsi komisi antikorupsi. Negara ini jelas masih memerlukan peran besar KPK karena korupsi yang masih merajalela. Sesuai dengan undang-undang, komisi antikorupsi pun memiliki wewenang besar. KPK tak sekadar mensupervisi lembaga penegak hukum lain, tapi juga berhak mengambil alih kasus korupsi yang ditangani kepolisian atau kejaksaan.
Ada juga kandidat yang memiliki catatan kurang mengesankan saat menangani kasus korupsi. Panitia juga meloloskan calon yang memiliki harta dan kegiatan bisnis yang mengundang kecurigaan. Panitia seleksi seharusnya konsisten dengan kriteria yang ditetapkan, yakni memiliki integritas, kompetensi, independensi, kepemimpinan, dan pengalaman kerja yang relevan. Jika kriteria mengenai integritas dipatuhi, calon-calon yang memiliki catatan kurang baik semestinya tidak diloloskan.
Hasil kerja panitia seleksi yang kurang memuaskan itu perlu disorot lebih tajam setelah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. Komisi Hukum DPR akan melakukan uji kepatutan dan kelayakan terhadap delapan calon pilihan itu pada Oktober mendatang. Dari delapan nama itu bersama dua nama lain yang telah menjalani uji kepatutan dan kelayakan, Komisi Hukum DPR akan memilih lima nama menjadi anggota pimpinan KPK periode 2015-2019.
Tidak bisa dihindari, anggota Komisi Hukum DPR tentu akan lebih menonjolkan pertimbangan politik dalam memilih lima pemimpin KPK. Tapi justru karena itulah akan tampak sikap partai politik di parlemen dalam kaitan dengan agenda pemberantasan korupsi. Jika partai politik, termasuk partai-partai pendukung pemerintah Jokowi, masih peduli memerangi kejahatan ini, semestinya mereka memilih calon yang berintegritas.
Bila yang terjadi sebaliknya atau calon-calon yang kurang berintegritas dipercaya memimpin komisi antikorupsi, sikap DPR hanya membenarkan sinyalemen adanya pelemahan KPK secara sistematis. Presiden Jokowi pun akan semakin diragukan komitmennya dalam memberantas korupsi, atau setidaknya dinilai tak berdaya di hadapan kekuatan yang membonsai KPK.