Pemerintah boleh-boleh saja menambah jumlah negara sahabat yang mendapat fasilitas bebas visa demi mendongkrak kunjungan wisata ke Tanah Air. Kendati demikian, perlu diingat, kebijakan itu tidak ada artinya jika tidak diikuti langkah nyata meningkatkan industri pariwisata kita.
Rencana pemberian bebas visa diungkapkan Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli. Ada 47 negara, menurut Menteri Rizal, yang akan diberi fasilitas bebas visa per Oktober 2015 nanti--termasuk Australia dan Vatikan. Sebelumnya, ada sekitar 30 negara, di luar 15 negara ASEAN, yang memperoleh fasilitas serupa. Dengan penambahan ini, total ada 92 negara yang warganya kini bisa masuk Indonesia tanpa perlu dokumen visa.
Penambahan ini intinya memang satu: menarik sebanyak mungkin warga negara tersebut pelesir ke Indonesia. Pemerintah sebelumnya telah memasang target jumlah wisatawan yang berkunjung ke Indonesia, yakni 20 juta orang hingga lima tahun mendatang.
Pemerintah optimistis target itu tercapai. Ini, terutama, didasari hasil evaluasi pemberian bebas visa tahap pertama sepanjang Juli-Agustus lalu. Evaluasi tersebut menunjukkan ada kenaikan 15 persen dibanding sebelumnya rata-rata 4 persen. Dalam hitungan pemerintah, jika para wisatawan "menyerbu" Indonesia, dalam lima tahun mendatang kunjungan turis itu akan meningkatkan devisa negara dari pariwisata yang semula sekitar Rp 140 triliun menjadi kurang-lebih Rp 280 triliun.
Kita sambut, juga kita dukung, upaya pemerintah ini. Tapi "obral" bebas visa itu mesti diikuti sejumlah langkah lain agar tujuan yang diinginkan itu tercapai. Kebijakan ini harus didukung perbaikan dan peningkatan infrastruktur. Bukan sekadar soal hotel yang nyaman dan makanan enak, tapi juga peningkatan pelayanan dari titik paling awal, yakni bandara berikut pelayanan Imigrasi.
Harus diakui, banyak kelemahan pelayanan justru pada "pintu pertama" para turis itu datang: bandara. Ini mesti segera dibenahi. Pelayanan Imigrasi mesti cepat, efisien, tanpa meninggalkan kehati-hatian. Proses pengambilan barang, informasi lengkap untuk para turis, hingga kelancaran transportasi dari dan menuju bandara harus tersedia. Di luar itu, tentu saja kebersihan dan keamanan bandara tak boleh dilupakan.
Infrastruktur tempat tujuan wisata berikut ragam produknya juga mesti diperbaiki dan disiapkan. Jangan sampai para turis yang tergiur dan terpancing oleh promosi lokasi wisata indah Indonesia kecewa lantaran tak ada angkutan ke sana, jalan yang berlubang-lubang, atau tempat penginapan yang jauh dari memadai. Jika para turis itu senang dan memperlama waktu tinggalnya, otomatis mereka akan mengeluarkan uang lebih banyak.
Tentu saja di luar ini kita harus tetap waspada terhadap masuknya para orang asing itu. Sebab, bukan mustahil di antara mereka ada yang memanfaatkan fasilitas ini untuk melakukan kejahatan. Misalnya, menyelundupkan narkoba atau melakukan kejahatan seksual terhadap anak (paedofilia). Bagaimana pun pemerintah mesti mengantisipasi ini semua.