Langkah pemerintah membatalkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung merupakan keputusan tepat. Rencana pembangunan infrastruktur ini, selain tanpa perencanaan matang, melenceng dari kebutuhan utama dalam menata sistem transportasi massal.
Pemerintah harus paham bahwa salah satu esensi pembangunan kereta api cepat adalah mempersingkat mobilitas antarkota. Hal ini akan jauh lebih efektif bila proyek tersebut menghubungkan trayek jarak jauh, seperti Paris-Marseille atau Tokyo-Osaka, bukan Jakarta-Bandung, yang hanya berjarak 150 kilometer. Jarak jauh antarstasiun memungkinkan kereta api cepat mencapai akselerasi maksimum.
Namun waktu tempuh yang singkat tetap tidak akan berguna tanpa ada upaya memperbaiki lalu lintas di tengah kota. Singkatnya waktu tempuh akan sia-sia bila penumpang masih menghabiskan waktu berjam-jam dari stasiun menuju tempat tujuan. Hal ini berlaku juga bagi kereta api berkecepatan sedang, yang sekarang menjadi salah satu opsi pemerintah.
Pendek kata, proyek kereta api cepat ataupun sedang tidak akan banyak memberi manfaat bila tidak didahului oleh perbaikan transportasi menyeluruh. Tak mengherankan bila negara-negara seperti Prancis dan Spanyol telah memiliki sistem transportasi yang memadai sebelum membangun kereta api cepat. Maka, ketimbang repot-repot membangun kereta api cepat, pemerintah lebih baik berfokus merevitalisasi transportasi massal di kota-kota besar.
Tarik-ulur proyek ini juga tidak perlu terjadi bila pemerintah jeli sejak awal. Pemerintah seharusnya melihat bahwa jumlah permintaan penumpang per hari yang melintasi dua kota itu jauh di bawah hitung-hitungan kedua investor. Baik Cina maupun Jepang menawarkan tarif kereta cepat sebesar Rp 200 ribu, dengan asumsi jumlah penumpang per hari jalur Jakarta-Bandung bisa mencapai sekitar 44 ribu. Angka itu sulit digapai, mengingat jumlah permintaan penumpang di antara dua kota itu sekitar 17.500 ribu per hari. Itu sudah termasuk jumlah penumpang kereta, travel, dan bus. Tingkat keterisian kereta yang rendah akan membuat potensi keuntungan yang dijanjikan Cina ataupun Jepang meleset.
Hal lain yang harus dipertimbangkan, pembangunan kereta api cepat harus mengacu pada tata ruang dan tata guna lahan. Pembangunan infrastruktur tersebut harus mempertimbangkan daerah yang bisa dikembangkan ataupun dilindungi. Jangan sampai pembangunan kereta api cepat justru memukul perekonomian wilayah tertentu.
Dari sisi prioritas, banyak pembangunan infrastruktur yang jauh lebih mendesak ketimbang membangun kereta api cepat ataupun kereta berkecepatan sedang. Infrastruktur dasar, semisal jalan, jembatan, dan pelabuhan, masih menjadi kendala utama di luar Jawa.
Itu sebabnya, sikap Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, yang masih ngotot ingin melanjutkan proyek pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung, patut dipertanyakan. Sebab, keputusan pemerintah membangun kereta api cepat ataupun sedang akan semakin memperlebar ketersediaan infrastruktur antara Jawa dan pulau lain.