Meski terbilang terlambat, langkah Presiden Joko Widodo mendorong percepatan pembangunan transportasi massal di Jakarta dan sekitarnya membuahkan harapan besar. Percepatan itu dilakukan melalui terbitnya dua keputusan presiden, yaitu nomor 98/2015 tentang light rail transit (LRT) terintegrasi di Jabodetabek, dan nomor 99/2015 tentang percepatan penyelenggaraan perkeretaapian di Jakarta. Melalui percepatan ini, yang terwujud dengan peresmian pembangunan jaringan LRT pada Rabu lalu, kuat harapan bahwa kelak Jakarta dan daerah penyangganya akan makin terlayani oleh moda transportasi massal.
Moda transportasi massal sangat penting karena, dari 17,5 juta kendaraan di Ibu Kota, sebagian besar merupakan kendaraan pribadi. Hasilnya adalah kemacetan kronis. Sebuah survei pernah menunjukkan Jakarta merupakan kota termacet sedunia. Hal ini terlihat dari data bahwa pengemudi di Jakarta, per kilometer dalam setahun, harus mengemudi dengan kondisi "stop-and-go" sebanyak 33.240 kali. Angka ini dua kali lipat dari kondisi Kota New York, yang berada di peringkat ke-13.
Maka, kereta, dengan kemampuannya mengangkut lebih banyak penumpang, adalah pilihan terbaik. Apalagi saat ini baru 2 persen atau 650 ribu penumpang per hari yang bisa diangkut transportasi umum. Pertumbuhan jumlah kendaraan, yang mencapai 5.000 per hari, tidak dibarengi penambahan panjang jalan. Akibatnya, kemacetan semakin parah.
Memang, pembangunan LRT tidak sepenuhnya mengatasi kemacetan. Sistem ini hanya salah satu pendukung yang mengintegrasikan moda transportasi massal lain, seperti kereta Commuter Line (yang sudah lama beroperasi) atau mass rapid transit (yang sedang dibangun). Meski demikian, LRT penting karena menjadi penghubung antar-jaringan transportasi massal tadi.
Jalur LRT nantinya sebagian besar menggunakan rel layang di jalan tol, dari Bogor hingga Tanjung Priok dan dari Bekasi hingga Bandara. Panjang rel mencapai 350 km. Dalam sehari, LRT bisa mengangkut 1,5 juta orang. Dengan tarif tidak terlalu mahal-diperkirakan Rp 10-15 ribu per penumpang-diharapkan kelak para penglaju makin banyak yang mengubah pola bepergiaannya dari kendaraan pribadi ke LRT.
Meski demikian, ada hal yang harus menjadi perhatian. Proyek ini dibangun melalui keputusan presiden, yang memberi keleluasaan besar kepada PT Adhi Karya dan badan usaha milik pemerintah DKI Jakarta. Keleluasaan itu, misalnya, keduanya boleh menetapkan harga dalam proses konstruksi. Pemilihan konsultan pengawas pun bisa melalui penunjukan langsung oleh Kementerian Perhubungan.
Keleluasaan lain adalah kedua badan mendapatkan kemudahan dalam penggunaan lahan milik pemerintah. Bahkan kalau perlu rencana tata ruang yang sudah ada bisa dirombak demi proyek ini. Peluang manipulasi penggunaan lahan akan terbuka.
Aspek-aspek itulah yang harus diawasi ketat. Proyek bernilai Rp 50 triliun ini memang harus segera dibangun karena khalayak sangat membutuhkannya. Namun upaya mempercepat terwujudnya LRT juga tak boleh dilakukan dengan mengabaikan proses pengawasan.