Pemerintah pada pekan lalu mengumumkan paket kebijakan yang berfokus pada tiga strategi penyelamatan ekonomi. Maklumat yang penting, tapi tak cukup. Pasar memerlukan langkah nyata penerapan kebijakan tersebut.
Tiga fokus kebijakan yang disebut Paket September I itu adalah meningkatkan daya saing industri, mempercepat proyek-proyek strategis nasional, dan mendorong investasi di sektor properti. Paket tersebut disinergikan dengan lima paket kebijakan moneter Bank Indonesia yang dikeluarkan pada saat yang bersamaan. Tujuan utamanya adalah menggerakkan kembali sektor riil.
Salah satu yang ditekankan Presiden adalah perombakan 89 peraturan dari 154 regulasi yang selama ini menghambat daya saing industri. Pemerintah akan menyiapkan 17 rancangan peraturan pemerintah, 11 rancangan peraturan presiden, 2 rancangan instruksi presiden, 63 rancangan peraturan menteri, dan 5 aturan lainnya. Ini jumlah yang tak sedikit.
Tentu pemangkasan aturan yang tumpang-tindih itu amat penting. Tapi, melihat karakter birokrasi kita, pemerintah rasanya sulit mengubah banyak regulasi dalam waktu dekat. Apalagi banyak birokrat yang justru mengambil untung dari peraturan yang menghambat itu. Jelas dibutuhkan pekerjaan Spartan, simultan, dan penegakan hukum yang serius untuk mewujudkannya.
Urusan dwelling time adalah salah satu contoh tak mudahnya mengubah kultur birokrasi tersebut. Presiden Joko Widodo dua kali datang dan marah-marah di Pelabuhan Tanjung Priok akibat waktu bongkar-muat yang panjang di pelabuhan itu. Polisi bahkan memproses hukum pejabat kantor pelabuhan karena dianggap melakukan tindak pidana soal dwelling time. Tapi tetap saja waktu tunggu keluar-masuk barang tak banyak beringsut. Padahal, dari 154 regulasi itu, 122 menyangkut dwelling time.
Hal yang juga menjadi fokus dalam Paket September adalah upaya mempercepat pencairan dana desa untuk pembangunan infrastruktur dengan menyederhanakan prosedur. Jika dulu pemerintah mewajibkan desa memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa, kini desa cukup mengisi formulir yang sudah disediakan untuk mencairkan dana desa sekitar Rp 300 juta. Jumlah itu sepertiga dari jumlah yang dijanjikan pemerintah, yakni Rp 1 miliar.
Upaya mempercepat prosedur itu patut diapresiasi. Tapi, pada saat yang sama, kemudahan itu menyimpan kerawanan. Ada lebih dari 81 ribu desa dan kelurahan di Indonesia. Bagaimana memastikan dana itu dipakai untuk membangun infrastruktur desa secara padat karya? Jelas memerlukan upaya ekstra untuk mengawasi agar dana itu tak jatuh kepada para cukong atau aparat yang bermain mata dengan kepala desa.
Dengan berbagai kelemahan itu, tak berarti paket kebijakan yang sudah digulirkan pemerintah tak layak didukung. Sudah semestinya kebijakan yang memudahkan dunia usaha dibuat--bahkan seharusnya dari dulu. Jangan sampai paket ini berjalan tak seperti yang dijanjikan. Jika kita lalai, pasar akan menghajar rupiah dan indeks harga saham sampai titik yang paling mengerikan.