Simpati dan duka yang mendalam sepatutnya disampaikan kepada ratusan korban jiwa musibah robohnya crane di Masjidil Haram, Mekah, Arab Saudi, Jumat pekan lalu. Namun, pada saat yang sama, kita selayaknya juga mempertanyakan penerapan standar keselamatan oleh pemerintah negara itu bagi jemaah haji.
Kurang dari dua pekan sebelum masa puncak haji, ketika jutaan orang akan berkumpul di Mekah, puluhan crane masih mengangkang di atas masjid terbesar sedunia itu. Pekerja terus menggunakan alat berat raksasa tersebut untuk menyelesaikan megaproyek perluasan masjid. Padahal ratusan ribu orang dari pelbagai negara, termasuk Indonesia, mulai berdatangan.
Pemerintah Arab Saudi seharusnya telah memperhitungkan risiko datangnya angin kencang. Apalagi musim haji tahun ini jatuh pada September, ketika hujan badai dengan petir biasa menderu di Mekah. Badai ini terbentuk di atas Pegunungan Asir, sebelah selatan Saudi, sebelum berarak menuju utara sepanjang September-November. Daerah bertekanan rendah di sana juga kerap memicu badai pasir, seperti yang terjadi beberapa hari sebelum musibah itu.
Dengan kondisi cuaca tahunan seperti itu, pemerintah Saudi semestinya menurunkan tiang-tiang tinggi crane hingga ambang batas keselamatan sebelum memasuki musim haji. Tidak selayaknya para "tamu Allah" beribadah dalam ancaman musibah mematikan. Benar, menara crane raksasa itu secara teoretis mampu menahan petir dan tiupan angin berkecepatan hingga 86 kilometer per jam. Namun kemungkinan menara roboh karena hujan badai seharusnya tidak boleh diabaikan.
Pertanyaan atas penerapan standar keselamatan oleh pemerintah Saudi sangat penting. Sebab, musibah yang merenggut nyawa jemaah telah berkali-kali terjadi. Pada 2006, 350-an orang tewas pada saat menjalankan ritual melempar jumrah-batu kecil yang dilontarkan ke tiga tiang di Mekah. Dua tahun sebelumnya, 250-an orang meninggal saat menjalani ritual yang sama.
Selama ini jemaah berada di titik terlemah "bisnis" haji. Mereka menempatkan segalanya sebagai "ujian"-harus menerima apa pun yang ada dan haram mengeluh, apalagi memprotes. Aneka kesulitan diterima sebagai "jalan menuju arah yang lebih baik". Bahkan tak sedikit yang "bercita-cita" meninggal di Tanah Suci karena yakin masuk surga. Walhasil, standar keselamatan dan kesehatan bagi mereka sering tidak dimasukkan sebagai prioritas.
Proyek perluasan area Masjidil Haram yang pengerjaannya dilakukan Bin Laden Group sejak 2011 hingga 2020 ini memang merupakan usaha untuk meningkatkan kenyamanan jemaah, dan sekaligus menambah pendapatan negara itu. Namun crane raksasa seharusnya tidak lagi dioperasikan pada musim haji. Demikian pula pekerjaan lain yang mendatangkan masalah kesehatan bagi jemaah. Kita patut menuntut pemerintah Saudi, yang memperoleh setidaknya Rp 100 triliun per tahun dari "bisnis" haji, untuk meningkatkan standar keselamatan jemaah.