Rencana Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi mengangkat guru honorer menjadi pegawai negeri bukan gebrakan baru. Langkah itu cuma upaya memenuhi janji. Demonstrasi yang dilakukan ribuan guru honorer pada Selasa pekan lalu justru mencerminkan kegagalan pemerintah menangani masalah yang sudah berlangsung menahun.
Tuntutan guru honorer memperoleh penghasilan lebih baik tidak akan terulang bila pemerintah serius membenahi persoalan ini. Apalagi kebijakan mengangkat pegawai honorer di instansi pemerintah menjadi pegawai negeri sudah dicanangkan sejak 10 tahun silam. Kebijakan itu disusul terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.
Kenyataannya, banyak guru honorer masih terkatung-katung karena proses rekrutmen pegawai negeri berlangsung manipulatif. Banyak guru honorer, dengan waktu pengabdian lebih lama, tersingkir oleh tenaga honorer yang semestinya belum berhak mengikuti tes calon pegawai negeri sipil. Praktek ini jelas melanggar peraturan pemerintah itu.
Terbuai oleh bujuk rayu para calo, guru honorer dengan masa kerja lebih pendek menyetor puluhan hingga ratusan juta rupiah kepada kepala daerah dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Tujuannya: agar kepala daerah menerbitkan surat keputusan pengangkatan palsu sehingga mereka berhak mengikuti tes. Sebagian besar yang lulus menjadi pegawai negeri pada Februari tahun lalu adalah guru honorer yang memalsukan dokumen pengangkatan.
Kongkalikong ini rawan konflik kepentingan. Sebagai bentuk balas budi, tak sedikit guru honorer-tentu saja dengan mengajak rekan-rekannya-yang menjadi tim sukses pemilihan kepala daerah. Praktek ini terjadi di banyak tempat, salah satunya di Kudus, Jawa Tengah. Persekongkolan ini terjadi saat pemerintah hendak mendata ulang jumlah guru honorer di seluruh Indonesia.
Agar tidak terulang, pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla harus belajar dari apa yang terjadi di masa silam. Maraknya pemalsuan data merupakan pekerjaan rumah yang harus segera diperbaiki. Pemerintah harus mencegah persekongkolan antara guru honorer, anggota Dewan, dan kepala daerah terjadi selama proses verifikasi berlangsung. Apalagi urusan data menjadi salah satu titik lemah pemerintah.
Seleksi guru honorer menjadi pegawai negeri juga tetap tidak boleh mengabaikan aturan. Seleksi harus dilakukan secara transparan. Pemerintah juga harus mengatur rinci standar kesejahteraan tenaga pendidik, karena lebih dari 6.000 guru honorer berpenghasilan di bawah upah minimum. Hal ini terjadi lantaran Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen belum mengatur upah minimum guru honorer.
Kemelut guru honorer merupakan ujian yang cukup serius bagi pemerintah. Jokowi harus membuktikan bahwa janji yang pernah diucapkan saat kampanye, Juni tahun lalu, untuk membantu guru honorer bukan pepesan kosong.