TEMPO.CO, Jakarta - Agus Sudibyo, Mahasiswa S-3 STF Driyarkara
Dalam kasus pengungsi Rohingya yang terusir dari negaranya, terombang-ambing di lautan, dan sempat ditolak beberapa negara tujuan, bagaimana kita meletakkan konsep hak asasi manusia (HAM)? Masihkah kita bisa menempatkan HAM sebagai sesuatu yang sakral, universal?
Hannah Arendt, dalam bukuThe Human Condition (1958), berbicara tentang keterpisahan antara hak asasi manusia (the human right) dan hak warga negara (the rights of the citizen). Giorgio Agamben, dalam buku Homo Sacer, Sovereign Power and Bare Life(1998),berbicara tentang kedaulatan politik yang mendasarkan diri kepada kekerasan dan penelantaran (abandonment), sehingga melahirkan manusia tanpa hak dan eksistensi legal. Pemikiran dua tokoh ini menjadi titik tolak yang menarik untuk meninjau problem pengungsi Rohingya.
Dengan latar problem pengungsi pada Perang Dunia II dan setelahnya, Arendt memproblematisasi konsep HAM universal. Menurut Arendt, dalam prakteknya, hak warga negara bukanlah hak yang disematkan pada diri setiap manusia tanpa pandang bulu, melainkan pada warga suatu negara-bangsa dalam perbedaannya dengan mereka yang bukan warga.Dalam konteks riil, kemanusiaan terkait dengan masalah perang, konflik dan persaingan antarnegara, yang terjadi adalah identifikasi kewargaan dengan konsep kelahiran (birth), bukan dengan konsep hak asasi universal yang mengandaikan kesetaraan dan solidaritas.
Arendt berusaha menegaskan kaitanantarakonsep negara bangsa dankonsepkelahiran. Paham negara-bangsa berarti bahwasebuah negara menempatkan kelahiran(nativity) sebagai obyek sekaligus fondasi dari kedaulatan negara. Bukan individu dengan rasionalitas dan otonominya yang menjadi obyek kedaulatan, melainkan semata-mata fakta kelahiran dan materialitas biologis setiap orang. Bukan kepedulian terhadap kebebasan, pelayanan, dan perlindungan yang mendasari konsep kewargaan, melainkan semata-mata karena seseorang lahir di suatu tempat dalam kerangka negara teritorial.
Karena kewargaan adalah atribut yang diberikan untuk manusia yang lahir di teritori tertentu atau berdasarkan ras tertentu, paham negara-bangsa sesungguhnya tidak memberi tempat untuk sekadar eksistensi biologis manusia. Dari perspektif ini, sebagaimana ditegaskan Agamben kemudian, HAM belum memadai sebagai prinsip universal, dan masih sekadar atribut kewargaan dalam konteks negara-bangsa.
Di sini, kita menemukan penjelasan untuk pengungsi Rohingya. Pada diri mereka, kita menemukan gambaran masyarakat tanpa negara, orang-orang yang berada dalamsituasitanpa hak (being without right) semata-mata karena asal-usul dan status kelahiran mereka. Pemerintah Myanmar memperlakukan mereka sebagai bukan warga, karena asal-usul mereka. Pemerintah Thailand dan Malaysia sempat menolak kehadiran mereka karena mereka bukan warga dari sudut pandang negara-bangsa yang mereka gunakan.
Tentu ini sebuah tamparan keras bagi wacana HAM universal. Di era yang seharusnya sudah sangat maju dalam pelembagaan HAM, masih ada negara-negara yang, dengan alasan melindungi teritori, menolak kehadiran ribuan manusia perahu yang jelas-jelas terancam nyawanya. Dari perspektif Arendt, manusia Rohingya bukan hanya fenomena hilangnya hak-hak perlindungan hukum, tapi juga hilangnyakehendak dan kemampuan komunitas untuk menjamin hakhidupsetiap orang.Pudarnya kehendak dan kemampuan warga dunia untuk mewujudkan kehidupan tanpa kekerasan dan diskriminasi.
Dalam pandangan Agamben, manusia Rohingya adalah homo-sacer era demokrasi modern. Mereka dapat dibunuh, menjadi obyek kekerasan dan diskriminasi karena mereka adalah manusia tuna-hak dan tuna-kewarganegaraan. Karena itu, tidak ada hukum yang sudi melindungi mereka, tidak ada konsekuensi hukum apa pun bagi para pelaku pembunuhan, kekerasan, dan diskriminasi itu.
Pada titik inilah kritik Agamben atas paham demokrasi perlu digarisbawahi. Demokrasi selalu tampil sebagai janji tentang kesetaraan, keadilan, dan absennya kekerasan. Namun,dalam kenyataannya, negara demokrasi sering tak dapat mengelakkan kondisi-kondisi di mana kepastian hukum ditangguhkandan hak-hak asasi diabaikan. Inilah yang disebut Agamben sebagaistate of exception: hukum berlaku dengan pengecualian-pengecualian, menerapkan diri tidak dalam kategori aplikasi, tapi dalam kategori penangguhan.
Yang tercipta kemudian adalahindistingsi antara hukum dan anomie,antara tatanan dan kekerasan. Kekerasan terhadap Rohingya adalah tindakan melanggar hukum, tapi kekerasan itu dilakukan lembaga formal berdasarkan hukum nasional Myanmar. Tindakan beberapa negara mengusir pengungsi Rohingya jelas menyalahi hukum internasional, tapi tindakan itu juga tindakan legal, dilakukan oleh institusi formal, katakanlah, untuk menjaga kepentingan nasional. Hukum, menurut Agamben, secara paradoksal mencerminkan penyatuan dua prinsip yang bersifat antitetik: kehendak mewujudkan keadilan dan keniscayaan kekerasan dalam kerangka legal.