Penolakan peninjauan kembali (PK) kasus Hotasi Nababan oleh Mahkamah Agung sungguh mencederai rasa keadilan. Majelis hakim seolah abai terhadap sejumlah fakta yang menyatakan bahwa bekas Direktur Utama Merpati Nusantara Airlines itu tidak bersalah dalam kasus sewa pesawat oleh PT Merpati. Majelis seperti menutup mata terhadap fakta di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang sebelumnya memutus bebas Hotasi.
Dalam amar putusan pada 4 September lalu, majelis hakim PK yang diketuai Syarifuddin menolak permohonan PK yang diajukan Hotasi. Hal tersebut tidak saja memperkuat putusan kasasi, tapi juga menyebabkan Hotasi mesti menjalani hukuman 4 tahun penjara dan membayar denda Rp 200 juta. Majelis menolak novum yang diajukan Hotasi. Padahal novum itu menunjukkan bahwa Hotasi tak melakukan korupsi seperti yang dituduhkan.
Novum itu merupakan bukti yang menerangkan Hotasi dan Merpati telah melayangkan gugatan pidana dan perdata terhadap Thirdstone Aircraft Leasing Group. Perusahaan penyewaan pesawat asal Amerika Serikat itu ingkar janji dan tak mampu menyediakan pesawat bagi Merpati. Pengadilan Washington, DC, telah menjatuhkan putusan yang menyatakan Thirdstone Aircraft harus mengembalikan dana dalam security deposit sebesar US$ 1 juta beserta bunga kepada Merpati.
Ironisnya, meski sudah ada putusan pengadilan di Amerika itu, Hotasi tetap dinyatakan bersalah. Dia dituduh menyalahgunakan wewenang. Padahal dua lembaga penegak hukum, Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Mabes Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi, tak menemukan adanya unsur tindak pidana korupsi dan telah menghentikan penyelidikan.
Di tingkat Pengadilan Tipikor, majelis hakim sebelumnya menyatakan tak ada unsur korupsi dalam sewa pesawat oleh PT Merpati. Penyewaan dua Boeing yang dilakukan pada 2006, ketika Hotasi menjadi Direktur Utama Merpati, kata majelis, telah dilakukan secara transparan dan hati-hati. Menurut hakim, kerugian negara akibat transaksi yang akhirnya gagal itu di luar kendali Merpati.
Kerugian negara tentu saja ada karena dana US$ 1 juta yang ditransfer ke Thirdstone Aircraft belum bisa ditarik PT Merpati sepenuhnya. Tak ada bukti satu pun yang memperlihatkan Hotasi mendapat suap atau kickback dari Thirdstone.
Dalam sidang, jaksa juga tidak bisa membuktikan adanya perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Hotasi. Keputusan menyewa pesawat diambil secara wajar dan transparan. Sebagai bos Merpati, Hotasi diberi wewenang memutuskan menyewa pesawat tanpa harus meminta izin komisaris. Kasus ini pun sebetulnya masalah ranah perdata karena ada pihak yang wanprestasi. Walhasil, penerapan pasal korupsi terkesan dipaksakan.
Dengan segala fakta hukum yang ada itu, semestinya majelis hakim PK bisa melihat perkara ini secara jernih sekaligus mengoreksi putusan hakim kasasi. Sayangnya, majelis hakim seolah hanya mengambil pendapat jaksa, tak mengindahkan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta dan saksi ahli yang menegaskan bahwa Hotasi tak melakukan korupsi.