KEMENTERIAN Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi tak boleh mengendurkan tindakan tegas terhadap penyelenggara pendidikan yang beberapa hari lalu membuat acara wisuda abal-abal. Segera cabut izin mereka dan laporkan perbuatan pidana ini ke polisi. Upacara kelulusan dan pemberian gelar tanpa melalui perkuliahan dan pengujian yang memadai jelas merupakan penipuan.
Menteri Muhammad Nasir perlu mengawal agar langkah hukum itu tak berhenti di jalan. Pastikan para pengelola yayasan dan lembaga pendidikan yang ngawur itu memperoleh hukuman setimpal. Perilaku mereka berimplikasi gawat: kerusakan sosial yang luas. Selain mengelabui para wisudawan, mereka menghina publik dan dunia pendidikan yang menjunjung tinggi kejujuran. Masyarakat pun bisa tertipu embel-embel gelar yang disandang para "lulusan" karena tak disertai kompetensi atau kapasitas akademis yang layak.
Wisuda akal-akalan yang dilakukan terhadap seribu lebih mahasiswa di Tangerang Selatan itu mengingatkan kita akan obral gelar sarjana, master, bahkan doktoral yang terungkap pada Mei lalu. Lembaga pendidikan yang mengklaim sebagai perpanjangan kampus di Amerika Serikat itu nyatanya bohong belaka. Sialnya, ratusan "alumnus" mereka telanjur bertebaran ke mana-mana. Ada jenderal polisi, perwira militer, bupati, aktivis, bahkan ada yang terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Kasus yang terus berulang dengan beragam modus ini menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap tata kelola pendidikan. Kementerian Pendidikan Tinggi harus mengevaluasi diri: mengapa mereka selalu kebobolan dan terlambat dalam mendeteksi atau mengambil tindakan atas masalah ini. Para pengawas yang tak becus bekerja sebaiknya digeser. Mereka yang terbukti ikut bermain memuluskan tipu muslihat dan manipulasi pendidikan itu patut dipecat.
Aparat, baik pengawas di kementerian maupun polisi, juga gagal memberi efek jera terhadap para penyelenggara pendidikan yang melawan hukum. Mereka pun akhirnya berani mengulangi praktek tersebut. Patutlah dipertanyakan kepada Kementerian Pendidikan Tinggi dan Kepolisian RI: mengapa kasus obral gelar yang sebelumnya mencuat belum juga tuntas dibereskan? Layak pula kita menagih kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara: sampai di mana pengecekan ulang atas gelar akademis yang dipakai para pegawai negeri selama ini sebagai prasyarat naik pangkat?
Minat yang tak pernah surut terhadap tawaran jual-beli titel atau ijazah palsu juga membuktikan betapa masyarakat salah kaprah dalam memandang pendidikan. Nafsu untuk selalu mengambil jalan pintas yang tak pantas ini harus diredam. Bukan waktunya lagi menggunakan gelar sebagai satu-satunya patokan dalam menyeleksi atau menentukan posisi pegawai negeri. Titel kesarjanaan hanya boleh dianggap valid setelah melacak riwayat pendidikan dan kompetensi akademisnya. Tanpa hal itu, doktor sekalipun tak ada artinya.