Para pemimpin dunia bersepakat mengubah dunia melalui deklarasi ambisius: Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals. Pemerintah selayaknya segera menyesuaikan aneka program pembangunan nasional dengan kesepakatan global ini.
Cakupan SDGs-begitu deklarasi ini disingkat-jauh lebih banyak daripada Tujuan Pembangunan Milenium atau MDGs, yang dicanangkan 15 tahun silam. Deklarasi sebelumnya berisi delapan sasaran dan 60 target. Kini, pemimpin 193 negara, Perserikatan Bangsa-Bangsa, Bank Dunia, serta organisasi-organisasi nirlaba di New York, Amerika Serikat, mencanangkan 17 sasaran dan 169 target pembangunan.
Pada intinya, penanda-tangan deklarasi menganggap pembangunan tak bisa lagi dilakukan dengan cara biasa walau MDGs diklaim telah mencapai berbagai kemajuan. Sebab, hampir sepertiga penghuni bumi tetap hidup miskin, enam juta balita mati tiap tahun akibat kurang gizi, polusi tak terkendali, hutan tropis semakin habis, dan bahan bakar fosil masih menjadi andalan. Parahnya, korupsi di berbagai belahan dunia tak kunjung berkurang.
Sasaran SDGs adalah "mimpi indah". Dunia pada 15 tahun mendatang dibayangkan sebagai tempat yang lebih manusiawi. Sasaran pertama, misalnya, "Menghapus kemiskinan dalam segala bentuknya di mana pun." Lalu poin ketiga: "Memastikan hidup yang sehat dan memajukan kesejahteraan bagi semua orang di semua usia." Ada juga butir kesepuluh yang mencantumkan, "Mengurangi ketimpangan di dalam dan di antara negara-negara." Semuanya ideal.
Pertanyaannya: bagaimana menjalankan kesepakatan itu? Hal ini penting karena, hampir bersamaan dengan deklarasi SDGs, 12 negara Trans-Pacific Partnership bertemu di Atlanta untuk membicarakan perjanjian dagang di antara mereka. Sejumlah kesepakatan kelompok ini bakal mempersulit pelaksanaan SDGs. Kesempatan memperluas cakupan hak properti intelektual, misalnya, bakal meningkatkan harga obat-yang langsung mengancam implementasi butir ketiga Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Belum lagi lobi perusahaan-perusahaan multinasional yang mendahulukan profit daripada keselamatan bumi.
Baca Juga:
Bagaimanapun, Indonesia telah bergabung dalam kesepakatan global itu, walau Presiden Joko Widodo "hanya" mengirim Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pemimpin negara lain hadir dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa kemarin. Hal pertama yang perlu dilakukan pemerintah adalah menyesuaikan perencanaan pembangunan nasional dengan butir kesepakatan multinasional itu.
Pemerintah tidak boleh mengulang pengalaman implementasi MDGs, yang baru serius dilaksanakan sepuluh tahun setelah deklarasi pada 2010. Idealnya, berbagai aturan hukum dan penentuan lembaga yang bertanggung jawab menyelaraskan pelaksanaan agenda ini selesai pada awal tahun depan. Pada saat itu, masa berlaku Tujuan Pembangunan Milenium berakhir, dan periode Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dimulai.