Dewan Perwakilan Rakyat wajib menghormati putusan Mahkamah Konstitusi yang mengembalikan wewenang Dewan Perwakilan Daerah dalam mengusulkan dan membahas rancangan undang-undang (RUU). Untuk setiap RUU yang terkait dengan daerah, peran DPD tak boleh diabaikan karena merekalah representasi kepentingan daerah dalam proses politik di parlemen.
Patut dihargai pula upaya DPD mengajukan gugatan uji materi (judicial review) atas perubahan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) ke Mahkamah Konstitusi, Agustus 2014. Undang-undang itu dianggap tidak mengakomodasi kepentingan DPD dalam proses pembahasan rancangan undang-undang.
Aturan 2014 tersebut oleh DPD dinilai tidak lebih baik daripada undang-undang yang dikeluarkan pada 2009, yang pada 2012 juga telah diuji materi di MK. Hasilnya, ketika itu, MK mengamanatkan DPR melibatkan DPD dalam proses pembahasan RUU yang berkaitan dengan daerah. Namun DPR mengabaikan putusan MK pada 2012 itu. UU MD3 pada 2014 disusun dengan tidak mengindahkan putusan tersebut. Keadaan itulah yang memantik langkah hukum DPD.
Kini MK kembali telah mengambil keputusan tepat dengan memenangkan sebagian tuntutan DPDterutama yang berkaitan dengan ikhtiar menempatkan DPD sejajar dengan DPR dalam tugas dan fungsinya sesuai dengan Pasal 22D UUD 1945. Keputusan ini telah mengembalikan sistem checks and balances di tubuh parlemen. DPD sebagai salah satu kamar di parlemen memiliki kembali wewenang mengimbangi kamar lain, yakni DPR.
Selama ini fungsi dan relasi legislasi DPD seperti dibonsai oleh DPR saat sebuah RUU masuk proses pembahasan. DPD tak mampu menjalankan tugas konstitusionalnya karena mendapat ganjalan untuk berpartisipasi dalam ruang sidang. Pernah dalam sebuah rapat kerja Komisi II dengan pemerintah yang dihadiri pimpinan Komisi I DPD, terjadi perdebatan sengit mengenai format keterlibatan DPD. Saat itu wakil DPR tak memberikan kesempatan kepada DPD untuk menyampaikan pandangan atas materi yang dibahas.
Hal semacam ini tak boleh terjadi lagi. Harus diingat, alasan pembentukan DPD, selain untuk memperkuat checks and balances antarcabang kekuasaan dan lembaga legislatif, adalah untuk memperkuat ikatan antardaerah dalam negara serta menguatkan demokrasi. Anggota DPDdan bukan anggota DPRinilah yang otoritatif dalam memahami kepentingan daerah yang diwakilinya. Merekalah pembawa aspirasi yang akan diperjuangkan dalam proses-proses politik di parlemen. Putusan MK memperjelas legitimasi DPD untuk duduk sejajar dengan anggota DPR dalam membahas dan memutuskan RUU terkait dengan kepentingan daerah.
Sejauh ini terbukti DPD cukup aktif dalam memproduksi RUU yang menjadi domain kerjanya. Namun, karena posisi mereka yang dipinggirkan, tidak banyak RUU inisiatif DPD yang masuk Program Legislasi Nasional DPR. Hal ini menjadi ironi karena prestasi legislasi DPR sendiri amat rendah hingga pertengahan tahun ini.
DPR harus segera melibatkan DPD dalam setiap pembahasan RUU yang berkaitan dengan daerah. Mengabaikan putusan MK sama artinya dengan mencederai penegakan hukum dan merusak hubungan ketatanegaraan.