Sepinya peringatan International Right to Know Day atau Hari Hak Publik untuk Tahu, yang seharusnya dirayakan pada 28 September lalu, mencerminkan masalah yang lebih mendasar di Indonesia. Ini sinyal mengkhawatirkan ketika publik menanti komitmen tegas pemerintah mendukung prinsip data terbuka atau open data, sebuah elemen penting dari rezim keterbukaan informasi. Jika seremoni saja tak ada, sulit berharap ada terobosan kebijakan baru untuk memperluas penghormatan negara terhadap hak asasi ini.
Kemunduran ini patut disesali. Pada 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mewakili Indonesia menjadi satu dari delapan negara pelopor keterbukaan informasi di tingkat internasional. Bersama Inggris, Meksiko, Amerika Serikat, Brasil, dan sejumlah negara demokrasi lain, Indonesia merupakan pendiri Open Government Partnership, sebuah kemitraan global untuk mendorong transparansi dan partisipasi publik dalam tata kelola pemerintahan. Di dalam negeri, komitmen pemerintah ini kemudian diwujudkan dengan peresmian portal data Indonesia di http://data.go.id.
Inisiatif itu kini seolah sia-sia. Mengakses data publik di situs Internet lembaga-lembaga pemerintah tetap sulit dan berbelit. Kualitas data yang tersedia pun tak terjaga karena tak ada standar kelengkapan informasi. Pemerintah tak pernah mempublikasikan program sistematis untuk memastikan semua data yang berkaitan dengan kepentingan publik bisa diakses dengan mudah oleh khalayak.
Tampaknya para pejabat belum menyadari benar manfaat keterbukaan informasi. Bayangkan jika data mengenai pemilik saham semua perseroan terbatas di Indonesia dibuka di Internet. Maka, publik bisa dengan mudah ikut mengawasi agar perusahaan dengan nama berbeda namun pemiliknya sama tidak berkali-kali memenangi kontrak pengadaan barang dan jasa di lembaga pemerintah. Sebuah riset Bank Dunia menemukan bahwa transparansi dan partisipasi publik berkorelasi positif dengan akuntabilitas dan efisiensi kinerja lembaga publik.
Pemerintah tak harus mulai dari nol. Kita punya pengalaman memanfaatkan keterbukaan data dalam pemilihan presiden tahun lalu. Ketika itu, inisiatif http://kawalpemilu.org berhasil menjamin proses penghitungan suara yang bersih dan transparan. Upaya Indonesia Corruption Watch (ICW) mengawasi proses tender pengadaan barang dan jasa lewat http://opentender.net juga merupakan inisiatif yang memberi harapan.
Masalahnya bukan hanya pemerintah. Meski sudah ada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, masyarakat yang memanfaatkan regulasi ini masih sedikit. Padahal, sesuai dengan undang-undang ini, masyarakat berhak mendapatkan informasi, dan lembaga pemerintah wajib melayaninya.
Gebrakan Komisi Informasi Publik untuk memaksa semua kementerian dan lembaga memperbaiki akses data mereka bagi khalayak juga belum tampak. Dengan upaya bersama, seharusnya kita bisa memastikan hak publik untuk tahu menjadi lebih bermakna di negeri ini.