Presiden Joko Widodo seharusnya segera menetapkan bencana asap dan kebakaran lahan di Sumatera dan Kalimantan sebagai bencana nasional. Dengan penetapan status itu, upaya memadamkan api dan menyelamatkan penduduk dari kepungan asap bisa lebih optimal.
Saat ini status darurat asap masih berupa bencana lokal. Contohnya, Pemerintah Provinsi Riau memperpanjang status darurat asap yang sebelumnya pada 14-28 September bertambah menjadi hingga 14 hari berikutnya. Perpanjangan status darurat asap juga dilakukan Pemerintah Provinsi Jambi karena kabut asap di sana membuat perekonomian lumpuh.
Lambatnya pemerintah pusat menetapkan status bencana sosial ini berbuntut panjang. Petaka asap semakin memprihatinkan karena daerah tak punya banyak dana dan tenaga untuk memadamkan api.
Bahkan Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menganggap bencana kebakaran lahan saat ini merupakan bencana terburuk di sepanjang sejarah Indonesia. Di Jambi, indeks pencemaran udara mencapai lebih dari 600, yakni dua kali lipat ambang batas berbahaya 300. Hal serupa terjadi di Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat. Adapun di Kalimantan Tengah, kualitas udara telah berada di level berbahaya.
Entah apa yang ditunggu Presiden Jokowi. Presiden lupa bahwa, semakin lambat bertindak, semakin banyak korban jatuh. Di Riau, sudah lebih dari sebulan anak sekolah diliburkan. Sepanjang September lalu, total korban akibat asap di enam provinsi mencapai 272 ribu orang.
Asap juga membuat mesin ekonomi berhenti berdetak. Setiap hari puluhan penerbangan di Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru, Riau, dibatalkan. Berapa kerugian warga dan dunia di sana?
Presiden Jokowi semestinya mafhum bahwa kunjungan seremonial ke lokasi kebakaran lahan tak menyelesaikan masalah. Saat dia datang, semua pemadaman cenderung cuma artifisial.
Kondisi darurat ini harus segera diakhiri. Pemerintah Jokowi harus meningkatkan status bencana menjadi bencana nasional. Upaya itu akan lebih memudahkan untuk mengurangi titik-titik api. Apa yang telah Jokowi lakukan selama ini-mengerahkan lebih dari 3.700 tentara, hampir 8.000 polisi, dan 4 pesawat pengebom air di Indonesia-terbukti tak cukup. Presiden Jokowi semestinya tak perlu alergi dengan bantuan asing. Faktanya, Indonesia tak mampu memadamkan sendiri.
Sudah lebih dari satu dekade negeri ini menjadi "produsen" asap kebakaran hutan. Korporasi-korporasi penyebab kebakaran dibiarkan melenggang. Yang dicokok hanyalah orang-orang suruhan. Ketegasan kepolisian kini diuji. Perangkat hukum untuk menjerat para pembakar hutan itu sudah lengkap. Ada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Perkebunan, dilengkapi Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2014 tentang Perlindungan Hutan. Pembakar hutan, baik perorangan maupun perusahaan, dapat dihukum maksimal 10 tahun penjara dan denda Rp 10-15 miliar. Masalahnya, seberapa serius kepolisian mengusut kasus para pembakar ini?
Tanpa adanya tindakan tegas, wajar bila publik curiga bahwa korporasi-korporasi pembakar lahan itu memang dilindungi orang-orang kuat di pemerintahan atau kepolisian.