Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Bukan-Jawa

Oleh

image-gnews
Iklan

Karena kau bukan orang Jawa," kata orang itu kepada saya dengan senyum mengasihani. "Karena itu kau tak mengerti."

Pertunjukan telah selesai. Saya merasa lega. Terus terang, saya tak menyukai tarian itu sebuah karya abad ke18 yang tak menggugah. Mungkin sebab itu orang itu, yang duduk di sebelah saya, menyimpulkan saya "tak mengerti".

Ia (seorang tokoh setengah fiktif) seorang Eropa yang sudah 20 tahun hidup di Solo, berbahasa Jawa dengan bagus, pandai memainkan saron dan rebab. Komentarnya mengingatkan saya akan katakata seorang jurnalis Belanda kepada Minke, tokoh Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer: seorang Eropa yang merasa lebih kenal rakyat di Jawa lebih baik ketimbang Minke, sang inlander.

Dalam novel Pramoedya, Minke merasa bersalah. Dalam kasus saya, saya bingung: apa artinya saya "bukan orang Jawa"? Apa itu "Jawa"?

Kata ini telah lama beredar, dan makin lama makin dianggap jelas, padahal tak pernah dipertanyakan. Kini orang mengatakan Sultan Hamengku Buwono X itu "raja Jawa", sementara kita dengan sah juga bisa mengatakan bahwa iadengan segala hormattak lebih dari seorang sultan dari separuh Yogyakarta. Orang juga mengatakan Bung Karno "Jawa", tetapi bisa juga dikatakan sebenarnya bukan; ia seperti halnya sekarang Boediono, calon wakil presiden yang mendampingi SBY: seorang yang lahir dan besar di Blitar, Jawa Timur, dan sangat mungkin bahasa masa kanaknya bukan bahasa Surakarta.

Sebutan "Jawa" barangkali seperti sebutan "Padang" bagi siapa saja yang datang dari Sumatera Barat, atau "Ambon" bagi siapa saja yang datang dari Maluku: sebutan yang sebenarnya tak mengacu ke sesuatu yang tetap.

Saya pernah masuk ke sebuah penjara di Wamena, Papua, tempat sejumlah orang yang dianggap penggerak "separatisme" disekap. Untuk mengelabui polisi, saya menyamar jadi pastor Katolik dari Bali; teman saya, seorang Amerika yang ingin menulis laporan buat sebuah lembaga hak asasi manusia, mengaku utusan dari sebuah gereja Kristen di Boston. Di hadapan kami, salah seorang tahanan menyatakan kesalnya kepada "orang Jawa" yang "telah banyak membunuh" orang Papua.

Waktu itu saya mencoba meluruskan. Kekerasan itu, kata saya, tak bisa dijelaskan dengan dasar kesukuan. Kekerasan itu dilakukan oleh sebuah pemerintahan militer, yang pada 19651966 juga telah membunuhi "orang Jawa", bahkan dalam jumlah yang jauh lebih besar. Tapi saya tak yakin apakah tahanan Papua yang penuh kemarahan itu mengerti. Kata, sebutan, bahasa, pada akhirnya punya kekerasan dan penjaranya sendiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sepulang dari sana, saya baca kembali buku John Pemberton On the Subject of 'Java'. Buku itu membantu saya yang sudah agak lama mencoba melacak dari mana "Jawa", sebagai identifikasi, berasal. Saya merasa perlu melacak itu. Saya dibesarkan di pesisir utara Jawa Tengah di mana orang menggunakan bahasa yang berbedabeda, dan di antaranya jauh dari bahasa yang dipakai di Surakarta dan Yogyakarta, di mana orang lebih sering menonton wayang golek dengan lakon Umar Maya ketimbang wayang kulit dengan lakon Mahabharata, dan di mana orang tak mengenal serimpi melainkan sintren. Bagaimana jutaan orang dengan keragaman yang tak tepermanai itu dimasukkan ke satu kelompok dan dengan gampangan disebut "Jawa"?

Buku Pemberton terkadang terasa terlampau panjang, tapi saya menyukai telaahnya yang dengan tajam melihat hubungan lahirnya wacana tentang "Jawa" dengan modernitas. Wacana itu dan keinginan membentuk identitas itumuncul justru ketika modernitas, dalam bentuk tatapan orang Eropa, masuk menerobos pintu gerbang dua istana yang terpisah dan bersaing di Surakarta: Keraton Sunan Pakubuwono, yang biasa disebut "Kesunanan", dan istana yang biasa disebut "Mangkunegaran".

Dari keduanyalah mulamula orang bicara tentang "Jawa". Dunia "Kesunanan" adalah dunia "Jawa" yang cenderung bergerak ke pinggir, ke luar dari tatapan dan pemahaman para pengelola kolonialisme Belanda. Dunia "Mangkunegaran", yang lebih muda umurnya, punya kecenderungan sebaliknya: ada keinginan bergerak ke tengah pemahaman itu. Contoh yang tak mudah dilupakan diberikan Pemberton: busana resmi yang disebut "Langenharjan" adalah kombinasi yang pintar yang diciptakan Mangkunegara IV pada 1871: paduan antara busana formal Belanda (rokkie Walandi) yang dipotong ekornya dengan keris dan kain batik. Berangsurangsur, rokkie Jawi itu diterima sebagai pakaian resmi "Jawa" bahkan di upacara pernikahan orang di luar istana.

"Jawa" dengan demikian tak merupakan sesuatu yang kuno, permanen, dan utuh. Namun bukan hanya itu. Di balik dinding tinggi kedua istana di Surakarta itu tersimpan apa yang oleh Pemberton disebut sebagai the sense of hidden 'Java'. Ada yang kemudian membuatnya sebagai misteri yang memikat tentang "Jawa". Tapi, bagi saya, janganjangan yang disebut oleh Mangkunegara IV sebagai (dalam bahasa Belanda!) "kawruh rahasia Jawa" atau "de geheime Javaansche wetenschap" itu satu pengakuan akan tak mungkinnya bahasa mana pun merumuskan "Jawa". "Jawa", sebagaimana identitas mana pun, sebagiannya selalu berada di negeri Antah Berantah.

Mungkin itu sebabnya saya tak mengerti, kenapa orang Eropa itu menganggap sayayang berbahasa Jawa dengan baik dan benar, tapi kecewa kepada satu nomor tarian klasik "bukan orang Jawa". Sebagaimana saya tak mengerti kenapa dia merasa mengerti apa itu "Jawa" sebuah sebutan yang, seperti umumnya nama, hanya untuk memudahkan percakapan, atau permusuhan, atau pertalian.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Youtuber Jang Hansol dan Food Vlogger Om Kim Senang Indonesia Kalahkan Korea Selatan

2 menit lalu

Youtuber, Jang Hansol. Foto: Instagram.
Youtuber Jang Hansol dan Food Vlogger Om Kim Senang Indonesia Kalahkan Korea Selatan

Jang Hansol menyebut kekalahan Korea Selatan dari Timnas U-23 bisa menjadi pembelajaran berharga bagi sepak bola di negaranya.


'Serius' Bebaskan Sandera Israel, Hamas: Bebaskan Juga Tahanan Palestina

11 menit lalu

Tslil Ben Baruch, 36, memegang plakat ketika para demonstran menghadiri protes 24 jam, menyerukan pembebasan sandera Israel di Gaza dan menandai 100 hari sejak serangan 7 Oktober oleh kelompok Islam Palestina Hamas, di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan Hamas.  di Tel Aviv, Israel, 14 Januari 2024. REUTERS/Alexandre Meneghini
'Serius' Bebaskan Sandera Israel, Hamas: Bebaskan Juga Tahanan Palestina

Hamas menekankan empat syaratnya bahkan ketika 18 negara mencoba meningkatkan tekanan pada kelompok tersebut untuk mencapai kesepakatan.


Usai Temukan 3 Korban Tewas Tanah Longsor, Basarnas Imbau Sebagian Warga Garut Mengungsi

15 menit lalu

Proses evakuasi korban tewas tertimbun tanah longsor di Kampung Sirnagalih, Desa Talagajaya, Kecamatan Banjarwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, pada Jumat 26 April 2024. (ANTARA/HO-Basarnas Garut)
Usai Temukan 3 Korban Tewas Tanah Longsor, Basarnas Imbau Sebagian Warga Garut Mengungsi

Warga yang tinggal di perbukitan dan lereng diminta mengungsi untuk meminimalisir korban bencana tanah longsor sepanjang musim pancaroba saat ini.


Persoalan yang Bisa Muncul Akibat Menikah karena Dijodohkan

21 menit lalu

Ilustrasi suami istri konsultasi ke dokter. redrockfertility.com
Persoalan yang Bisa Muncul Akibat Menikah karena Dijodohkan

Perjodohan memang tak selalu berjalan mulus apalagi bila tanpa cinta. Berikut beberapa persoalan yang bisa muncul bila menikah karena dijodohkan.


Setelah Berkoalisi di Pilpres, PKS Siap Bekerja Sama dengan PKB di Pilkada 2024

21 menit lalu

Sekretaris Jenderal PKS Aboe Bakar Alhabsyi memberikan keterangan pers usai menggelar rapat Partai Koalisi Perubahan di NasDem Tower, Jakarta, Senin, 18 September 2023.  TEMPO/M Taufan Rengganis
Setelah Berkoalisi di Pilpres, PKS Siap Bekerja Sama dengan PKB di Pilkada 2024

PKS dan Golkar semakin intens membangun koalisi di Pilkada 2024 Kota Depok.


Maknai Semangat RA Kartini, Ini Kelebihan Perempuan di Industri Garmen

22 menit lalu

Pekerja perempuan di Juragan 99 Garment/J99 Corp
Maknai Semangat RA Kartini, Ini Kelebihan Perempuan di Industri Garmen

Keahlian perempuan memberikan keuntungan sendiri khususnya di unit bisnis garmen J99 Corp.


Bamsoet Apresiasi Gelaran Art Jakarta Gardens 2024

22 menit lalu

Bamsoet Apresiasi Gelaran Art Jakarta Gardens 2024

Bambang Soesatyo mengapresiasi terselenggaranya Art Jakarta Gardens 2024 di Hutan Kota, Plataran mulai 23-28 April 2028.


Lee Sang Heon Minta Maaf Batal Hadiri Meet and Greet Secret Ingredient di Jakarta

49 menit lalu

Lee Sang Heon. Foto: Instagram/@sangheonleesh
Lee Sang Heon Minta Maaf Batal Hadiri Meet and Greet Secret Ingredient di Jakarta

Lee Sang Heon membuat video dan meminta maaf karena tidak bisa menyapa penggemarnya di Jakarta secara langsung.


Gibran Dorong Program CSR Lebih Banyak Diarahkan ke Sekolah-Sekolah

50 menit lalu

Wapres terpilih yang juga Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka menghadiri acara pembagian sepatu gratis untuk anak-anak sekolah tak mampu di SMKN 8 Solo, Jawa Tengah, Jumat, 26 April 2024. TEMPO/SEPTHIA RYANTHIE
Gibran Dorong Program CSR Lebih Banyak Diarahkan ke Sekolah-Sekolah

Gibran mengatakan para penerima sepatu gratis itu sebagian besar memang penerima program Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta.


Kelebihan Punya Tinggi Badan Menjulang Menurut Penelitian

1 jam lalu

Ilustrasi pria bertubuh tinggi dan pendek. shutterstock.com
Kelebihan Punya Tinggi Badan Menjulang Menurut Penelitian

Selain penampilan, orang tinggi diklaim punya kelebihan pada kesehatan dan gaya hidup. Berikut keuntungan memiliki tinggi badan di atas rata-rata.