Ide pemerintah mengebiri paedofil bukan hanya keji, tapi juga merampas hak asasi manusia. Dan agaknya hukuman itu tak akan efektif lantaran suntik androgen itu hanya bersifat sementara, yakni melumpuhkan saraf syahwat yang dianggap sumber pemicu para paedofil menyalurkan hasratnya kepada anak-anak.
Paedofilia adalah kejahatan luar biasa. Di Indonesia, korbannya cukup banyak. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat, dari sekitar 600 laporan kekerasan terhadap anak, 52 persen merupakan kejahatan seksual. Ini sungguh memprihatinkan. Tapi mencegah paedofil dengan membuat hukuman yang di luar batas sama saja melegalkan kekejian dan kejahatan yang sama atas nama kebenaran.
Karena tak bersifat permanen itulah paedofil bisa kambuh dan timbul hasrat seksualnya kembali jika pemberian zat kimia dihentikan. Artinya, selain negara harus mengawasi, anggaran pemerintah mesti disediakan untuk terus-menerus menyediakan zat kimia dan menyuntikkannya kepada pelaku. Tentu saja ini akan menambah anggaran dibanding sekadar mengurungnya dalam waktu lama.
Cara terbaik menghukum paedofil dan pemerkosa adalah mengisolasinya dengan menjauhkan dari interaksi sosial. Karena itu, memenjarakannya dengan cukup lama adalah hukuman yang setimpal dengan kejahatannya. Seorang paedofil selayaknya dihukum dengan cara dirampas interaksinya dengan orang lain. Sebab, interaksi itulah yang ia salah-gunakan dengan mengumbar syahwatnya secara liar.
Bagaimanapun paedofil adalah kelainan jiwa. Maka, jiwanya pula yang seharusnya dibatasi. Dorongan seks terbesar adalah pikiran manusia. Jika otaknya masih menjangkau gairah seksual, syahwat itu akan muncul. Apa jadinya jika hasrat itu masih ada, sedangkan ia tak bisa menyalurkannya karena dikebiri? Libido itu akan muncul dalam bentuk kejahatan lain yang biasanya lebih ganas.
Maka, ketimbang membuat peraturan pengganti undang-undang soal kebiri, lebih baik pemerintah merevisi hukuman bagi para paedofil. Jika bandar narkoba saja bisa dihukum mati dengan mengubah pasalnya, hukuman bagi paedofil bisa direvisi dengan kurungan maksimal. Karena tergolong kejahatan luar biasa keji, hukumannya pun harus sepadan dengan cara merampas hubungan sosialnya. Misalnya, isolasi seumur hidup.
Para bandar narkoba tak juga jera kendati banyak yang dihukum mati. Sebabnya, hukuman itu justru menyelesaikan penderitaan sanksi. Mereka tak takut lagi tertangkap mengedarkan narkoba karena rasa kesakitan berada dalam kurungan berakhir begitu regu tembak melepaskan pelurunya. Tentu saja kita tak ingin paedofil merajalela karena menganggap hukumannya hanya sementara.
Mencerabut mereka dari interaksi sosial dengan mengurungnya sumur hidup malah mungkin justru membuat mereka jeri karena tak terbayangkan mendapat penyaluran hasratnya. Indonesia tak perlu meniru negara lain yang menerapkan hukuman ini karena efektivitasnya tak terjamin.