Perseteruan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama vs DPRD Kota Bekasi soal sampah Bantargebang tak sepatutnya berlarut-larut. Tidak perlu berdebat, apalagi berbalas pantun di media. Kalau memang ada dugaan pelanggaran isi kontrak, lakukan saja audit. Dari situ, kedua pihak bisa duduk bersama, berunding ulang agar isi kontrak tak merugikan salah satu pihak.
Kisruh ini bermula dari komplain DPRD Bekasi kepada DKI Jakarta soal pengelolaan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang. TPST ini merupakan proyek kerja sama antara pemerintah DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi. PT Godang Tua Jaya ditunjuk menjadi pengelola TPST.
Belakangan, DPRD Bekasi menilai ada sejumlah pelanggaran dalam pengelolaan TPST Bantargebang. Antara lain, DKI Jakarta dituding tak membangun kolam penampungan. Juga truk sampah lalu-lalang di jalur dan pada jam yang tak semestinya. Itu sebabnya, DPRD Bekasi berencana memanggil Basuki yang akrab disapa Ahok itu.
Ahok ternyata juga punya komplain ihwal kinerja PT Godang Tua Jaya. Ada beberapa catatannya: listrik dari pengolahan sampah yang ditargetkan sebesar 26 megawatt ternyata hanya menghasilkan 2-3 megawatt. Lalu, tak ada pabrik pengolahan sampah. Ahok juga menuding duit tipping fee tidak masuk rekening joint operation PT Godang Tua dan PT Navigat Organic Energy Indonesiaini nama perusahaan rekanan gasifikasi sampah. Maka, Ahok pun menolak memenuhi undangan DPRD Bekasi.
Kisruh meruncing setelah Ahok menuding ada dugaan aliran dana dari PT Godang Tua Jaya ke anggota Dewan. Ahok juga menyebut legislator Bekasi "sombong". Komisi A DPRD tak terima atas tudingan itu. Mereka pun merekomendasikan kepada pimpinan DPRD untuk memproses hukum Ahok atas sejumlah pernyataannya.
Sebagai daerah yang bertetangga, Jakarta dan Bekasi punya masalah yang harus ditanggung bersama. Dalam soal sampah, DKI membutuhkan tempat penampungan untuk mengakomodasi sekitar 6.000 ton sampah per hari. Bekasi pun mendapat kompensasi yang telah disepakati kedua pihak.
Sampah adalah masalah sehari-hari, namun tak lantas bisa dianggap soal mudah. Bisa dibayangkan jika sampah yang sekitar 6.000 ton per hari itu tak terangkut dan bertumpuk di jalan-jalan Ibu Kota.
Sepatutnya kedua pihak bisa menyelesaikan konflik dengan rasional. Karena sudah ada kontrak, pastikan bahwa masing-masing pihak memenuhi kesepakatan. Jika melanggar, ia bisa diganti karena dianggap wanprestasi. Jika ada pelanggaran soal jam kerja dan penggunaan jalur pengangkutan sampah, pihak Bekasi bisa menindak pengemudi truk itu. Sikap emosional dalam soal ini bisa dipastikan tak akan menyelesaikan masalah, malah hanya memperburuk keadaan. Jauh lebih baik bila keduanya mau berbicara dengan kepala dingin dan menyelesaikannya secara rasional.