Endang Suryadinata, Peminat Sepak Bola dan Sejarah
Seiring dengan Copa America dan puasa Ramadan, mari kita belajar dari sepak bola, meski belakangan sepak bola tengah disorot sisi hitamnya, seperti korupsi di FIFA atau pengaturan skor demi judi di sepak bola kita. Kapten klub pemain sepak bola perempuan United New South Wales, Asmaah Helal, misalnya, percaya sepak bola memiliki nilai-nilai yang sama dengan ajaran Islam. Sama seperti dalam Islam, sepak bola mengajarkan komitmen, tanggung jawab, disiplin, dan respek terhadap sesama meski memiliki perbedaan latar belakang.
Mari simak apa yang telah dilakukan oleh para pemain sepak bola muslim seperti Karim Benzema, Sami Khedira, Mezut Otzil, Shamir Nasri, Frank Riberry, Adil Rami, Hatem Ben Arfa, Zlatan Ibrahimovic, dan Ibrahim Afellaya. Komitmen, tanggung jawab, disiplin, dan respek mereka terhadap sesama pemain tak perlu diragukan.
Meski muslim, kontribusi mereka juga signifikan bagi timnas maupun klub masing-masing. Di lapangan hijau, sudah terbukti bahwa yang muslim, nonmuslim, atau agnotis (tak peduli agama), bisa saling bahu-membahu, bekerja sama demi meraih hasil maksimal. Kita yakin, sebuah tim yang mampu meracik keberagaman dan masing-masing pemainnya mampu menaruh hormat dan bekerja sama pasti akan meraih kemenangan sejati.
Yang membanggakan lagi, meski tengah berpuasa Ramadan, cukup banyak kegiatan yang mereka lakukan, seperti kegiatan amal. Simak yang dilakukan Nicholas Anelka. Kontribusi para pemain bola muslim itu menjadi bukti bahwa sepak bola bukan hanya menarik di lapangan hijau. Di luar lapangan pun, tepatnya di ranah agama, sepak bola sebagai salah satu ekspresi dari homo ludens(manusia yang suka bermain) juga punya daya pesona tersendiri.
Memang, sepak bola sebenarnya bukan sesuatu yang asing bagi agama. Pengkaitan sepak bola dengan agama bisa dilihat dalam konsep civil religion-nya Robert N. Bellah. Dalam perspektif ini, sepak bola memang bisa disebut sebagai sebuah agama. Civil religion, Bellah menambahkan, tidak dalam arti agama konvensional.
Apalagi, bila kita mau lapang hati, ada spiritualitas sepak bola yang positif sumbangannya demi membangun relasi di antara umat beragama, khususnya antara muslim dan nonmuslim. Misalnya, tiap kali mengamati sepak terjang para pemain sepak bola, penulis justru teringat akan filsafat perenialisme.
Sekadar diketahui, gagasan filsafat perenialisme pertama kali digunakan Agustinus Steucchus dalam bukunya, De Parenni Philosophia, terbit pada 1540. Frithjof Schuon juga menulis Islam Filsafat Perenial (Mizan 1998). Inti dari filsafat ini meyakini bahwa kebenaran abadi selalu berada di pusat semua tradisi spiritual, entah Hindu, Kristen, atau Islam. Dalam agama-agama besar itu selalu muncul gagasan akan satu Pencipta yang menciptakan semua mahluk. Meski dipanggil dengan banyak nama, Sang Pencipta itu tetap satu adanya.
Karena itu, bagi Rumi, keberadaan berbagai agama tidak perlu dipertentangkan. Dan yang penting tidak perlu dipersamakan, meski memang ada hal-hal yang sama. Biarkan tetap ada perbedaan, tapi jangan lupa meski berbeda, selalu ada titik temu. Jadi mari kita juga menaruh hormat kepada agama apa pun. Mahatma Gandhi mengatakan, barangsiapa menghina agama lain, sesungguhnya dia tidak menghargai agamanya sendiri. *