Pemerintah tidak perlu berlebihan dalam menanggapi Sidang Masyarakat Internasional 1965 di Den Haag, Belanda, 10-13 November lalu. "Pengadilan" untuk kasus pembantaian warga Indonesia yang diduga terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) menyusul peristiwa G-30-S itu lebih baik disikapi sebagai masukan upaya rekonsiliasi yang menjadi program Presiden Joko Widodo.
Sidang yang dimotori sejumlah aktivis pembela hak asasi manusia itu melibatkan hakim dan jaksa dari berbagai negara, dengan mendudukkan Negara Republik Indonesia sebagai terdakwa. Persidangan dilakukan secara in absentia karena Indonesia tidak hadir. "Jaksa" mendakwa negara telah melakukan pembunuhan massal dan perbudakan dalam peristiwa 1965 itu.
Hasil sidang memang tidak mengikat, tapi penyelenggara berniat membawa hasil tersebut ke Dewan Hak Asasi Manusia PBB dengan harapan akan keluar Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dengan begitu, diharapkan muncul desakan komunitas internasional agar Indonesia memenuhi tuntutan dalam putusan IPT 1965.
Kegiatan di Belanda ini menimbulkan reaksi keras di dalam negeri. Bahkan organisasi seperti Muhammadiyahyang dipandang sebagai organisasi muslim moderatmenentang pengadilan rakyat itu. Di media sosial, bermunculan kecaman terhadap kegiatan tersebut karena dinilai akan menggiring pemerintah meminta maaf kepada Partai Komunis Indonesia.
Peristiwa 1965 telah menjadi sejarah hitam bangsa Indonesia. Diperkirakan lebih dari satu juta penduduk, yang dituding terkait dengan Partai Komunis Indonesia, menjadi korban pembersihan. Belasan ribu orang lainnya menjalani pengasingan, antara lain di Pulau Buru (Maluku) dan Moncongloe (Sulawesi Selatan), tanpa proses pengadilan.
Setelah mereka dibebaskan, pemerintah Orde Baru juga mencabut hak sipil mereka untuk dipilih dan memilih dalam pemilu. Selama bertahun-tahun Kartu Tanda Penduduk mereka diberi tanda khusus sebagai bekas tahanan politik. Bahkan rezim Soeharto ini juga menghukum keluarga dan keturunan mereka dengan melarang menjadi tentara, polisi, dan pegawai negeri, termasuk badan usaha negara dan anggota parlemen.
Luka sejarah ini seharusnya disembuhkan pemerintah. Pada awal pemerintahannya, Presiden Jokowi sempat memberikan harapan dengan menjanjikan akan ditempuhnya jalur non-yudisial untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM di masa lalu. Sayangnya upaya itu tidak jalan karena muncul penentangan dan tudingan bahwa Presiden berniat meminta maaf kepada PKI.
Pemerintah tidak perlu ragu-ragu menyelesaikan masalah ini dengan mengakui bahwa negara telah lalaisehingga muncul pelanggaran hak asasi beratserta memulihkan hak dan nama baik korban. Rekonsiliasi tidak hanya terbatas pada korban pembantaian 1965, tapi juga pada kasus pelanggaran HAM lain, termasuk pembantaian yang dilakukan PKI dalam peristiwa Madiun 1948.