Di tangan Setya Novanto, jabatan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat menjangkau ranah eksekutif dan yudikatif. Ia bisa ikut menangani persoalan hukum perusahaan sekuritas, menjalankan diplomasi luar negeri "untuk meningkatkan investasi asing", dan kini ia diduga cawe-cawe dalam urusan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.
Perlu keberanian bagi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said buat membuka perkara terakhir itu. Ia melaporkan Setya ke Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat, lalu menyodorkan data yang diklaim sebagai transkrip pembicaraan antara petinggi Freeport dan Setya sebagai bukti.
Di dalam transkrip pembicaraan yang disodorkan Menteri Sudirman, tergambar usaha transaksi Sang Ketua Dewan. Setya diduga meminta saham kepada Freeport, yang disebutnya sebagai pelicin buat Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Politikus kawakan Partai Golkar ini juga disebut-sebut meminta 49 persen saham di PLTA Urumuka, Paniai, Papua, sekaligus menginginkan Freeport menjadi investor dan pembeli listrik pembangkit itu. Imbalannya, ia menjanjikan perpanjangan kontrak penambangan emas Freeport sebelum 2019.
Mahkamah Kehormatan Dewan sepatutnya segera menindaklanjuti laporan Sudirman. Apalagi Setya telah mengakui bertemu dengan manajemen Freeport meski ia mengklaim dalam konteks berbeda. Jika transkrip pembicaraan itu benar, Setya telah melanggar sumpah jabatan sebagai anggota Dewan, yang antara lain menyatakan hendak "mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi".
Mahkamah selayaknya bersikap lebih independen, walauperlu dipahamikelengkapan Dewan itu dibentuk berdasarkan perimbangan kekuatan politik. Mereka sebaiknya tidak mengulang model penyelesaian ala kadarnya, seperti ketika memutuskan Setya hanya melakukan pelanggaran etik ringan sewaktu bertemu dengan bakal calon presiden Amerika Serikat, Donald Trump, awal September laluyang disebutnya "untuk menarik investasi ke Indonesia". Setya bahkan tidak dipersoalkan ketika memanggil Jaksa Agung M. Prasetyo pada Agustus lalu, demi mempertanyakan penggeledahan kantor Victoria Securities.
Menteri Sudirman, sebagai "peniup peluit", perlu didukung untuk melanjutkan masalah ini ke ranah hukum. Undang-Undang Antikorupsi mengatur, "pemberian janji untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum" merupakan perbuatan pidana. Pemberian janji itu bisa digolongkan sebagai suap. Undang-undang itu mengancam penyelenggara ne gara yang melanggar aturan suap dengan hukuman pa ling lama 5 tahun penjara dan denda paling ba nyak Rp 250 juta.
Demi memperlancar pengusutan pelanggaran etik maupun hukum, Setya Novanto sepatutnya dinonaktifkan dari jabatannya.