Sikap DPR yang ngotot memasukkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK sebagai prioritas Program Legislasi Nasional periode 2016, dalam rapat paripurna Senin lalu, sungguh keterlaluan. Sulit untuk tidak menuduh poli tik us DPR tak bisa menahan hasrat politiknya untuk melumpuhkan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Gelagat buruk DPR itu wajib diwaspadai mengingat, pada Oktober lalu, DPR dan Presiden sudah bersepakat menunda pembahasan revisi undangundang tersebut. DPR tahu sikap Presiden menolak revisi undang-undang tersebut. Karena itu, DPR meng alihkannya menjadi RUU inisiatif DPR. Motif anggota Dewan sudah jadi rahasia umum: agar KPK tak bisa lagi seperti dulu, menangkap banyak tokoh dari anggota Dewan, pemimpin partai, hingga sejumlah menteri yang terlibat korupsi. Karena itulah, sejak 2007 hingga Oktober tahun ini, DPR dan sejumlah elite pemerintah kompak mengotak-atik pasal demi pasal UU KPK.
Beberapa perubahan yang dibicarakan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly bersama Badan Legislasi DPR adalah soal penyadapan, penuntutan, pembentukan dewan pengawas, penunjukan pelaksana tugas jika pemimpin berhalangan, dan penguatan prinsip kolektif-kolegial, hingga masa kelembagaan DPR. Jelas sudah revisi pasal-pasal itu menunjukkan niat DPR memperlemah KPK.
Soal kewenangan penyadapan, misalnya, DPR ingin hal itu dilakukan setelah proses penyidikan berlangsung atau setelah KPK menetapkan tersangka. Ini sama artinya dengan membuat KPK lumpuh, karena penyadapan adalah jantung kekuatan Komisi. Sudah terbukti, rekaman penyadapan itulah yang ampuh untuk menjerat koruptor.
Begitu pula keinginan DPR agar penuntutan KPK dikembalikan ke Kejaksaan. Ini sangat berbahaya karena kekuatan KPK adalah tuntutannya yang mandiri, dengan menggabungkan penyidikan dan tuntutan. Adapun ihwal pembentukan Dewan Pengawas KPK oleh DPR, ini mengada-ada karena selama ini Komisi bisa membentuk komite etik sendiri.
Presiden Joko Widodo harus memerintahkan Menteri Yasonna menarik kembali naskah akademik undangundang itu agar tidak menimbulkan kesan bahwa revisi undang-undang tersebut masih menjadi inisiatif pemerintah. Dengan demikian, publik tahu revisi itu murni inisiatif DPR, apalagi melihat kengototan DPR memasukkannya dalam agenda prioritas Program Legislasi Nasional 2016.
Bahkan kalau Menteri Yasonna tak segera menariknya, Presiden bisa menegur dia. Sebab, sebuah undangundang, baik yang baru maupun yang akan direvisi, harus dibahas bersama antara DPR dan pemerintah dan harus mendapatkan amanat presiden. Termasuk jika undang-undang itu tetap diajukan lagi dalam agenda Program Legislasi Nasional tahun berikutnya.
Ketegasan Presiden membela KPK ini menjadi penting mengingat Jokowi sudah bertekad membangun pemerintahan yang bersih dan tak memberikan toleransi apa pun terhadap korupsi. Sudah saatnya Presiden menunaikan janjinya di masa kampanye, tegas membela dan memperkuat KPK.