Entah apa yang ada di benak Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto saat dia menyebutkan Presiden dan Wakil Presiden perlu diberi jatah saham agar PT Freeport Indonesia bisa memperpanjang kontraknya. Dia telah mengkhianati negara dan semestinya terkena tiga jerat pidana sekaligus: pencemaran nama baik, penipuan, serta tindak pidana korupsi. Presiden Joko Widodo semestinya tak cuma jadi penonton dalam heboh ripuh Freeport ini.
Boleh saja Setya membantah jika disebut mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden. Namun rekaman percakapannya meminta saham PT Freeport dalam pertemuan pada 8 Juni 2015 di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, merupakan bukti tak terbantahkan. Di hotel itu, Setya menemui Presiden Direktur PT Freeport Maroef Sjamsoeddin dengan ditemani pengusaha minyak Muhammad Riza Chalid. Dalam pertemuan itu, ia menjanjikan perpanjangan kontrak Freeport yang akan berakhir pada 2021 dengan "menjual" nama Presiden dan Wakil Presiden. Imbalannya, Setya meminta 49 persen saham Pembangkit Listrik Tenaga Air Urumuka di Paniai, Papua.
Benar kata Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti, yakni unsur pidana kasus percaloan itu tak hilang meski Setya membantah habis-habisan. Masalah ini begitu terang-benderang untuk dibawa ke meja hijau. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, orang yang pertama kali membongkar kasus Freeport itu, tak perlu ragu melaporkan Setya ke kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan menyerahkan alat bukti seperti yang ia serahkan ke Mahkamah Kehormatan. Apa kata dunia bila pemerintah mendiamkan para makelar merampok negara seperti dalam kasus Freeport?
Kasus ini tak boleh hanya diselesaikan di Mahkamah Kehormatan dengan memberi sanksi administratif-itu pun kalau ada-kepada Setya. Masalahnya sangat serius karena yang dilakukan Setya masuk ranah pidana: pencemaran nama baik (melanggar Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana); penipuan (pasal 378); dan tindak pidana korupsi (Pasal 3 UU Antikorupsi), yakni berkaitan dengan memberi janji kepada seseorang.
Setya bisa dijerat dengan pasal pencemaran nama bila Sudirman Said mengadukan Setya ke kepolisian. Adapun pasal penipuan bisa diterapkan bila Freeport mengadukan Setya karena merasa ditipu oleh politikus Partai Golkar itu. Sedangkan pasal korupsi bisa diterapkan bila kepolisian dan KPK proaktif mengusut dengan bukti berupa permintaan upeti saham Setya.
Pemerintah mesti menuntaskan kasus "papa minta saham" Freeport ini. Presiden Joko Widodo jangan ragu membawa perkara memalukan ini ke ranah hukum. Adapun sengketa antara Sudirman dan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan yang sungguh banal itu harus diredakan.
Pemerintah mesti berfokus memerangi dan membasmi para makelar di lingkaran kekuasaan. Konsesi Freeport-dengan 2,27 miliar ton cadangan biji tambang-adalah ujian Jokowi. Dia harus membuktikan bahwa tidak ada makelar di sekitar kekuasaannya, seperti janji yang pernah ia katakan dulu dalam kampanyenya.