Dewan Perwakilan Rakyat merugikan publik bila terus mengulur-ulur waktu untuk menguji dan memilih calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. Sudah dua bulan lebih nama-nama calon itu masuk Senayan, tapi DPR masih saja meributkan kinerja panitia seleksi KPK atau mempermasalahkan sejumlah calon.
Kerugian publik itu terjadi lantaran waktu yang tinggal sebulan ini tak memungkinkan DPR memaksimalkan penggalian terhadap kredibilitas dan kemampuan calon. Kalau saja DPR bergerak lebih awal, keraguan tentang calon bisa ditelusuri lebih dalam, dan publik bisa mengharapkan terpilihnya calon yang benar-benar kompeten dan bersih.
Sayangnya, DPR lebih sibuk memanggil tim pansel KPK dan mencari-cari kesalahannya karena dianggap tidak menyerahkan transkrip wawancara serta nilai setiap calon.
Padahal Presiden Joko Widodo menyerahkan delapan nama calon pemimpin KPK itu pada pertengahan September lalu. Panitia seleksi juga mengirim dua nama, yaitu Busyro Muqoddas dan Robby Arya Brata, yang telah menjalani uji kelayakan dan kepatutan. Namun keduanya harus menjalani uji kelayakan lagi.
DPR boleh saja menganggap rekam jejak calon kurang moncer. Tapi DPR tidak bisa menyalahkan pansel KPK. DPR seharusnya paham bahwa panitia seleksi hanya bertanggung jawab kepada Presiden, bukan DPR. Pansel diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Tugas DPR adalah menguji dan memilih calon yang disodorkan oleh Presiden. Melalui uji kelayakanlah DPR membuktikan anggapannya. Penilaian tentang rekam jejak dan kompetensi calon pemimpin KPK itu hanya bisa ditentukan melalui uji kelayakan.
DPR semestinya tidak perlu nyinyir kepada pansel KPK, apalagi melontarkan pernyataan yang merendahkan. Misalnya, menyebut panitia seleksi tak ubahnya kumpulan ibu-ibu arisan karena tidak membawa dokumen yang diminta.
Semakin hari kian terlihat motif DPR yang tak henti mencari kesalahan pansel KPK. Gara-gara panitia seleksi tidak mau melengkapi dokumen tentang calon pemimpin KPK, DPR menjadikannya dalih untuk menunda proses fit and proper test. Terdengar juga ancaman bahwa DPR akan menunda uji kelayakan entah sampai kapan.
Niat DPR mengulur waktu untuk uji kelayakan tampak dari jadwal yang belum disusun. Setidaknya hingga kemarin DPR belum menetapkan sistem pemilihan calon pemimpin KPK. DPR belum membahas apakah sistem one man one vote atau sistem paket yang akan dipakai.
Sekarang bukan saatnya berdebat tentang kinerja pansel KPK. Lagi pula tugas pansel KPK sudah selesai sejak menyerahkan nama-nama calon pemimpin KPK kepada Presiden Joko Widodo. DPR semestinya sadar, semakin mepet waktu uji kelayakan, semakin terbatas pula informasi tentang calon yang bisa digali.
Akibat serius yang lain, jika sampai 16 Desember belum terpilih lima pemimpin KPK, jelas kerja lembaga antirasuah itu akan terganggu. Orang ramai akan bertanya: "agenda terselubung" apa lagi yang sedang dimainkan DPR?