Irma Suryani, alumnus STAI Sukabumi
Memiliki rumah tangga yang langgeng dan harmonis adalah cita-cita dan harapan semua pasangan yang melangsungkan pernikahan. Tidak pernah ada pasangan yang melangsungkan pernikahan dengan tujuan untuk bercerai. Boleh jadi bagi banyak pasangan yang menikah, kiranya hanya mautlah yang boleh memisahkan mereka.
Akan tetapi, cita-cita dan harapan terkadang tidak selamanya sejalan dengan realitas kehidupan. Maka, dalam perjalanan sejak ikrar sakral pernikahan dilangsungkan, tidak sedikit pasangan yang telah sah menjadi suami-istri, karena didera berbagai persoalan, akhirnya mengambil keputusan pahit untuk bercerai.
Persoalannya, perceraian rumah tangga bukan saja menggoreskan kenangan getir bagi pasangan menyangkut relasi dua hati yang terpaksa kandas, tapi juga kerap dibarengi munculnya problem-problem lain yang tak kalah getirnya. Lebih-lebih lagi bagi pasangan yang telah dikaruniai buah hati. Faktanya, sejumlah problem sosial yang muncul di masyarakat dipicu, antara lain, oleh perceraian rumah tangga. Ada korelasi bahwa semakin tinggi tingkat perceraian, semakin besar pula risiko lahirnya berbagai problem sosial di tengah masyarakat.
Karena itu, kita patut prihatin atas kenyataan semakin tingginya tingkat perceraian di negeri ini. Berdasarkan simpulan data dari Kementerian Agama, rata-rata tiap tahun terjadi 333 ribu kasus perceraian. Ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat perceraian paling tinggi di kawasan Asia-Pasifik. Faktor ketidakharmonisan, faktor ekonomi, dan hadirnya pihak ketiga menjadi penyebab terbesar perceraian di Indonesia.
Tingginya tingkat perceraian ini mesti segera diatasi. Membiarkannya berarti sengaja menyimpan bom waktu yang cepat atau lambat bakal meledak dan melahirkan disrupsi sosial yang dahsyat. Salah satu upaya untuk menekan angka perceraian agar tidak kian meningkat adalah dengan menyelenggarakan pendidikan pranikah. Lewat pendidikan pranikah, calon pengantin dibekali sejumlah pengetahuan serta soft skill ihwal bagaimana seharusnya menjalani dan mengelola kehidupan berumah tangga dengan sebaik-baiknya. Target utamanya adalah agar kelak mereka mampu membangun kehidupan keluarga yang-meminjam istilah dalam agama Islam-sakinah, mawaddah, warahmah.
Psikolog, agamawan, dan konselor spesialis perkawinan dapat dimintai bantuan untuk memberikan pendidikan pranikah ini. Selain dapat diselenggarakan secara mandiri atas inisiatif calon pengantin atau keluarga calon pengantin, pemerintah sebaiknya secara aktif menyelenggarakan pendidikan pranikah untuk setiap calon pengantin. Ini merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah ketika kian banyak keluarga di negeri ini menemui prahara dalam mengarungi bahtera rumah tangga yang berujung perceraian.
Sebagaimana kita ketahui, keluarga adalah unit terkecil dari negara. Ketahanan negara dibangun antara lain dari ketahanan keluarga. Pendidikan pranikah diperlukan sebagai bagian dari upaya membangun ketahanan keluarga dan negara. *