Reza Indragiri Amriel, Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne
Apakah ramainya pelamar posisi pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) benar-benar merefleksikan berseminya motif memerangi korupsi? Jawabannya bergantung pada persepsi publik (pelamar) tentang komisi antirasuah tersebut.
Baca Juga:
Riset Hanna, Wang, dan Daliwal (2014) patut menjadi bahan refleksi. Mereka menyimpulkan bahwa, bertitik tolak dari eksperimen mereka, di India, orang-orang dengan kecenderungan tinggi berperilaku koruptif akan memilih lingkungan birokrasi pemerintahan.
Penyebabnya adalah karena jajaran birokrasi kadung diasosiasikan sebagai organisasi dengan sistem yang buruk. Di organisasi semacam itu, kinerja profesional bukan penentu moncernya karier dan berkilaunya kesejahteraan pegawai. Justru sebaliknya, sistem yang sempal di sana-sini dilihat sebagai celah untuk mengeruk keuntungan pribadi. Tambahan lagi, hukum yang majal, sehingga orang yakin bahwa pelanggar etik tidak akan dijatuhi sanksi. Jadi, pantas untuk diwaspadai bahwa berbondong-bondongnya orang mengikuti seleksi pegawai negeri bukan dilatari keinginan untuk melayani publik secara baik.
Tali-temali antara persepsi, motif, dan tindakan memilih jenis pekerjaan seperti itu-tentu-tidak berlaku universal. Dikaji bahwa di negara Barat, semisal Amerika Serikat, orang-orang yang ingin menjadi kaya-raya lebih antusias memasuki sektor bisnis keuangan daripada menjadi pegawai negeri. Tentu juga perlu dipelajari, apakah pilihan tersebut disebabkan oleh sektor bisnis keuangan dinilai lebih rapuh dari segi sistem sehingga terbuka kesempatan bagi tindak korupsi, ataukah karena di sektor itulah para pelamar melihat peluang lebih besar untuk menang melalui persaingan kinerja.
Baca Juga:
Dalam konteks persepsi tentang KPK itulah dapat dimanfaatkan potensi gesekan antara KPK dan lembaga-lembaga penegakan hukum lainnya yang juga berwenang dalam memberantas korupsi. Area kerja yang berimpit itu hingga derajat tertentu justru perlu dikelola sebagai sumber kemelut. Tujuannya adalah agar antarlembaga antirasuah, alih-alih harmonis tulen, tetap dapat saling waspada dan saling intai guna meraih reputasi terbaik di bidang pemberantasan korupsi.
Atmosfer bersaing-saingan yang menaungi hubungan antarlembaga seperti itu, pada gilirannya, membuat setiap pihak merasa sedang diawasi. Perasaan itulah yang diyakini paling jitu menangkal korupsi, berkat efeknya mendorong masing-masing kubu untuk menjaga tindak-tanduk mereka agar tidak keluar dari koridor hukum dan etik.
Persepsi itulah yang penting diciptakan selama tahap seleksi pimpinan KPK berlangsung. Panitia seleksi menunjukkan kepada seluruh pelamar bahwa KPK hari ini dan ke depannya adalah lembaga dengan segala kelemahan yang terus dipantau. Panitia mengupayakan agar semua pelamar sadar betul bahwa setiap langkah mereka-sebaik apa pun itu-rawan mendapat serangan, sebagai konsekuensi pelamar yang secara kodrati pasti pernah melakukan kekeliruan dan kesalahan.
Hanya pelamar yang amat sangat bersih lagi kuat nyali yang akan sanggup terus masuk ke gerbang KPK.