Bandung Mawardi, esais
Pada akhir 1921, terbentuklah perkumpulan Selasa Kliwon, beranggotakan sembilang orang. Soewardi Soerjaningrat ikut bergabung dengan misi mempertinggi spiritualitas dan adab Jawa. Soetatmo Soeriokoesoemo dan Ki Ageng Soerjomentaram menghendaki perkumpulan Selasa Kliwon sanggup "menaklukkan dunia modern" dan merangsang kemajuan bangsa. Misi terbesar mereka adalah mengadakan kemudahan pendidikan bagi kaum muda (Kenji T., Demokrasi dan Kepemimpinan: Kebangkitan Gerakan Taman Siswa, 1992). Soewardi Soerjaningrat ditugaskan menjalankan mandat: mengadakan pendidikan partikelir bercorak nasional alias melawan dominasi pendidikan kolonial. Mandat itu dibuktikan pada 3 Juli 1922 dengan mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa.
Sejarah pendidikan itu bermula di Yogyakarta. Perguruan Nasional Taman Siswa adalah representasi pembesaran nasionalisme berbasis pendidikan-pengajaran. Penggunaan istilah "nasional" menampar arogansi pemerintah kolonial. Soewardi bertekad mengajak kaum pribumi meraih kebijaksanaan, kemuliaan, kehormatan, dan kemajuan tanpa instruksi-instruksi kolonial. Perguruan itu bersemangat revolusioner. Ikhtiar besar dihadang pemerintah kolonial melalui ordonansi dan represi terhadap para tokoh di Taman Siswa.
Perguruan itu semakin besar, bersebaran di pelbagai kota di Jawa dan Sumatera. Pemerintah kolonial bertambah cemas saat melihat kaum pribumi menentukan sistem pendidikan dan kurikulum sendiri, tak menuruti peraturan-peraturan resmi. Taman Siswa bergerak dengan ramuan harmoni antara nasionalisme, pelestarian tradisi, dan kemodernan. Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara juga mengolah pelbagai ide dari para tokoh pendidikan Barat, Rabindranath Tagore, dan para leluhur di Nusantara dengan maksud menguatkan corak nasional dan pendidikan demi keluhuran.
Febre dalam buku Taman Siswa (1952) menganggap Taman Siswa itu Ki Hajar Dewantara. Penjelasan Febre: "… tjiptaan dan pentjipta disini adalah demikian rapatnja, sehingga sifat-sifat tjiptaan itu sesuai benar dengan watak arsiteknja." Ki Hajar Dewantara memang arsitek pendidikan nasional, tapi ia tak sendirian. Beliau selalu memerlukan urun ide, dana, dan tenaga dari pelbagai kalangan untuk memastikan perguruan nasional tak bisa dimatikan oleh penguasa. Harapan itu terkabul. Taman Siswa semakin berkembang di pelbagai kota. Para tokoh kebangsaan muncul dari rahim Taman Siswa. Masa panen terbukti saat Indonesia merdeka. Para lulusan Taman Siswa mengisi kantor-kantor pemerintah untuk menjalankan tugas demi bangsa dan negara.
Sejarah itu perlahan surut. Zaman sudah berubah. Tahun demi tahun, sekolah-sekolah bernama Taman Siswa tutup dan mengalami penurunan derajat. Taman Siswa lekas menjadi nostalgia. Kini, ikhtiar mengapresiasi Taman Siswa mulai dimunculkan lagi oleh Anies Baswedan, meski cenderung retorika puitis dan simbolis. Sejarah itu jauh tapi kita mesti menjenguk saat melihat situasi pendidikan di Indonesia gampang amburadul. Kita mesti menginsafi bahwa Taman Siswa tak harus selalu nostalgia. Taman Siswa itu gerakan. Kita pantas menjadikan Taman Siswa sebagai referensi gerakan ketimbang cuma "cerita pendek" di buku-buku sejarah pendidikan Indonesia. *