Penugasan kepada sejumlah menteri Kabinet Kerja sebagai penghubung urusan investasi dengan luar negeri merupakan keputusan yang tidak perlu. Langkah ini berpotensi menimbulkan tumpang-tindih fungsi antar-instansi. Peran dan tanggung jawab menjalankan diplomasi ekonomi selama ini berada di tangan Menteri Luar Negeri dan jajarannya hingga kedutaan besar Indonesia di negara-negara sahabat.
Namun Presiden Joko Widodo memberikan mandat kepada sepuluh menteri dan dua kepala lembaga untuk menjadi pintu masuk bagi negara-negara asing yang ingin menanamkan modal di Indonesia. Selusin pejabat negara itulah yang akan menghubungkan investor asing dengan perusahaan lokal. Perannya dimaksudkan untuk menggantikan middle man alias calo proyek.
Sebenarnya, Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pasar Modal telah menetapkan tugas dan fungsi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Salah satu tugas dan fungsi lembaga itu adalah mempromosikan penanaman modal. Kini, promosi atau menarik investasi asing ke dalam negeri menjadi tanggung jawab menteri penghubung.
Alasan pemilihan 10 menteri, Kepala BKPM, dan Kepala Badan Ekonomi Kreatif ini juga tak transparan. Menurut Sekretaris Kabinet, ada pertimbangan kedekatan personal saat Presiden memilih 12 pejabat itu. Harapannya, kedekatan para menteri tersebut dengan negara yang ditangani akan mampu menghilangkan hambatan dalam menarik investasi asing.
Padahal, seperti juga sudah diakui pemerintah, hambatan yang dialami investor asing untuk berinvestasi di Indonesia adalah soal perizinan. BKPM pun telah mengantisipasinya dengan menerapkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pusat sejak 26 Januari 2015. Sebelumnya, banyak izin harus diajukan ke berbagai kementerian atau lembaga.
Keberhasilan Menteri Sudirman Said memboyong investasi dari Timur Tengah sebagai inspirasi bukanlah alasan tepat. Investasi dari perusahaan minyak Arab Saudi itu memang sektor yang ditangani Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Mungkin baru menimbulkan kegaduhan jika menteri penghubungnya bukan menteri sektoral.
Belum lagi, tambahan tugas ini berimbas terhadap kinerja menteri bersangkutan. Padahal menteri yang berkinerja baik di mata publik dalam setahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tak sampai hitungan jari. Survei Indo Barometer yang diumumkan pada awal Oktober lalu adalah salah satu buktinya. Hanya Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang persentase kepuasannya mencapai 71,9 persen.
Selagi surat keputusan Presiden belum diterbitkan, sebaiknya pemerintah menimbang lagi perlu-tidaknya penunjukan menteri penghubung. Daripada menambah rantai birokrasi, lebih baik pemerintah berfokus menekan kementerian dan lembaga berwenang yang ada agar menjalankan fungsinya dengan benar. Jika penyebab hambatan diketahui, Presiden dapat menagih tanggung jawab para pembantunya itu. Bukan malah memberi beban tambahan.