Pemilihan kepala daerah (pilkada) besok akan digelar serentak di 269 daerah. Ada 9 provinsi yang memilih gubernur, sedangkan yang terbanyak memilih bupati dan wali kota beserta wakil-wakilnya. Sisanya, 244 daerah, menggelar pemilihan pada 2017, termasuk Jakarta. Sebelumnya, pilkada dilaksanakan pada akhir masa kerja 5 tahun.
Ini merupakan babak awal dari rencana menggelar pemilihan serentak secara nasional seperti dimuat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1/2014 yang mengatur pemilihan kepala daerah.
Pemerintah harus menghitung ulang rencana itu, karena menyatukan pemilihan akan menyebabkan pejabat terpilih harus mengakhiri masa tugasnya sebelum lima tahun lantaran harus menyesuaikan dengan jadwal pilkada serentak. Di samping itu, akan banyak pemerintahan dipimpin pelaksana tugas selama beberapa tahun jika masa jabatan telah habis sementara pemilihan serentak belum saatnya dilaksanakan.
Padahal banyak hal tak bisa dilakukan pelaksana tugas kepala daerah, seperti mutasi, membatalkan izin, dan membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya. Ini bisa membuat pembangunan dan pemerintahan di daerah mandek.
Tujuan pemilihan serentak, yang diharapkan bisa menghemat biaya dan tenaga, ternyata gagal pula. Anggaran penyelenggaraan tidak lebih murah dibanding jika pemilihan dilakukan secara sendiri-sendiri. Pemerintah mengeluarkan dana Rp 6,6 triliun untuk pemilihan ini, jauh di atas biaya pemilihan tidak serentak yang diperkirakan hanya Rp 4,7 triliun.
Baca Juga:
Pemilihan serentak juga bisa merepotkan polisi jika terjadi kerusuhan di beberapa daerah secara bersamaan. Kekuatan polisi dan TNI di daerah biasanya terbatas, sehingga sering kali diperlukan bantuan dari luar wilayah jika terjadi keributan cukup besar. Ditilik dari prinsip pemilu yang bersih dan jujur, pilkada serentak ini juga tidak lebih baik. Kasus pelanggaran politik uang masih banyak dilaporkan.
Keputusan Mahkamah Konstitusi membatasi jumlah sengketa pilkada, dengan mensyaratkan hanya peserta yang kalah suara 0,5-2 persen yang bisa mengajukan gugatan, juga bisa menimbulkan kerawanan. Selisih tipis ini bisa menjadi ajang, terutama bagi calon inkumben, untuk melakukan kecurangan agar meraih kemenangan mutlak sehingga pesaing tidak berkesempatan menggugat. Jika hal ini terjadi, pendukung calon kepala daerah yang kalah bakal mencari saluran lain untuk menyatakan ketidakpuasan atas hasil pilkada, yaitu melakukan kerusuhan.
Itu sebabnya, pemerintah perlu lebih cermat dalam mengevaluasi pilkada serentak ini. Jika mudaratnya lebih besar daripada manfaatnya, tidak ada salahnya mengembalikan proses pemilihan kepala daerah ke mekanisme lama: pilkada digelar oleh masing-masing daerah begitu masa jabatan kepala daerah berakhir.