Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Benda-benda

Oleh

image-gnews
Iklan

Dengan beras kasar yang kumakan, dengan air yang kuminum, seraya lenganku bertelekan ke sebuah bantalmasih kurasakan sukacita pada benda-benda ini.
- Konghucu

Benda-benda makin lama makin membuat jarak dari kita. Beras, air minum, dan bantal itu kita konsumsi dan kita pakai setiap harimungkin kita nikmatitapi di manakah kita?

Hari ini kita pergi ke sebuah mall di Jakarta. Di deretan etalase yang gilang-gemilang itu benda-benda diletakkan dengan jarak tertentu. Kalau bukan jarak fisik, ia jarak dari keseharian kita. Mereka tampak mengimbau karena mereka, seperti satu adegan film Avatar, bukan bagian dari malam dan siang kita yang lazim. Dan ketika kita ketahui harga mereka yang tak dapat diraih kebanyakan orang, makin jelas bagaimana benda-benda itu telah berubah.

Marx pernah berbicara tentang "festishisme komoditas": ketika komoditas jadi jimat, benda yang dianggap punya kesaktian, atau, dalam bahasa Portugis, feitio.

Pada waktu ia menulis itu, dalam jilid pertama Kapital, Marx belum melihat gaun Max Mara, tas Louis Vuitton, stoking Pierre Mantoux, jaket Gucci, yang dipamerkan dengan iklan besar atau dipasang di tubuh manekin langsing. Marx baru berbicara tentang beberapa potong kayu yang dijadikan meja, dan meja yang dijual di pasar. Syahdan, meja itu kemudian terlepas dari tangan sang pembuat yang berkeringat. Si meja kini seakan-akan berjalan sendiri, tampil untuk dipertukarkan dengan benda lain yang juga lepas dari tenaga sang produsen. Pada saat itu, hubungan yang terjadi praktis bukan lagi hubungan antara manusia. Manusia di luarnya.

Di depan etalase Emiglio Zegna, yang memajang kemeja dan pantalon yang necis, kita tak tahu siapa Emiglio Zegna. Kita tak peduli apakah itu nama sang desainer atau nama seorang aktor yang dipinjam untuk jadi merek. Kita mungkin kagum kepada desainnya, tapi tak peduli siapa yang merancang. Kita bahkan tak merasa perlu tahu siapa yang punya toko. Di pikiran kita hanya sederet pantalon, sederat jas, sederet hem. Apa yang dikatakan Marx tepat di sini: benda-benda itu kini menampilkan "sifat metafisik yang halus" dan "kesantunan theologis".

Tapi ada yang tak disebut Marx: kita datang ke mall itu bukan dengan kepala kosong. Kita bukan tabula rasa. Kita memilih pergi ke sana dan tertarik karena kita hidup di antara fantasi, mimpi, hasrat, yang sudah mengisi diri kita, bertaut dengan hal-hal yang telah membentuk impian sosial. Antara aku dan benda dalam etalase itu ada satu proses perantaraan, terutama oleh mediamajalah Dewi, Esquire, Kosmopolitan, film ala Hollywood, sinetron ala Raam Punjabi, dan entah apa lagiyang membentuk pelbagai markah: merek, gaya, potongan bentuk, bahkan mall itu seluruhnya menandai "kecantikan" atau "kegantengan" atau "kepatutan".

Berangsung-angsur, markah-markah itu jadi bagian dari kesadaran kita. Merekalah wakil atau representasi dari hal-hal yang sebenarnya tak akan dapat dihadirkan (bagaimana kita bisa menghadirkan "kecantikan"?), tapi terus-menerus kita hendak menjangkau. Dengan kata lain, markah-markah itu jadi penanda yang tak dihadiri oleh yang ditandai. Tapi mereka begitu kuat hingga kita ingin menyatukan diri dengan mereka. Penyatuan itu terjadi dalam "milik": kita ingin memiliki mereka, sementara kita juga dimiliki mereka.

Artinya, kita bukan dalam situasi Konghucu. Beras, air minum, dan bantal itu sudah berubah. "Apa yang dulu dialami dalam hidup secara langsung kini telah hanya jadi representasi," tulis Guy Debord, seorang Marxis yang masygul. Baginya, sejarah kehidupan sosial adalah sejarah merosotnya "ada" jadi "milik" dan "milik" jadi "penampilan". Kita hidup, kita ada, tetapi dalam kenyataannya kita dibentuk oleh "penampilan" yang mendorong kita memiliki.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kita hidup dalam "masyarakat tontonan", la societe du spectacle. "Tontonan", yang punya akar pada kata Jawa "ton", menemukan contohnya pada mall itu. Tontonan, tulis Debord, "bukanlah sebuah himpunan imaji, melainkan persesuaian sosial antara orang-orang, yang diperantarai oleh imaji-imaji."

Debord, seperti saya singgung tadi, menilai keadaan ini sebagai kemerosotan. Bukunya, La societe du spectacle, adalah tafsir yang lebih jauh atas sinyalemen Marx bahwa di bawah kapitalisme, manusia sebenarnya hidup dalam "alienasi", dalam "keterasingan": aku terasing dari tenaga kerjaku sendiri ketika tenaga kerja itu jadi komoditas yang tak aku kuasai; aku terasing dari benda yang aku hasilkan, ketika benda itu diperjualbelikan; aku terasing dari orang lain yang akan membeli dan menggunakan benda itu.

Dalam analisis Debord, keterasingan manusia, sebagai penonton, ada dalam posisi yang agak berbeda: ketika sang penonton (alias sang konsumen) makin meletakkan diri dalam dominasi markah-markah yang menandai kebutuhan, ia akan makin kurang ada bersama eksistensinya sendiri. Ia minum kopi, baca koran, mengunyah kue, pergi main golf, pergi ke mall: tontonan itu ada di mana-mana. Dan sang penonton? Ia bersama mereka, di mana-mana. Ia tak berumah.

Tapi saya tak bisa mengatakan ia tak bersukacita. Mungkin tak seperti Konghucu. Mungkin itu kebahagiaan hidup yang palsu. Tapi adakah yang asli yang bisa kita temui tanpa representasi? Terutama ketika kapitalisme membangun markah terus-menerus untuk menunjukkan tentang apa yang kita butuhkan?

Kita boleh berharap kapitalisme akan runtuh kelak. Tapi harus diakui, harapan itu makin tipis. Maka apa yang harus dilakukan? Mungkin bersahaja: kita harus ingat, kita punya subyektivitas yang cukup untuk mencoba merebut kembali "ada" dari "milik" dan "penampilan".

Kita sesekali perlu sejenak jadi Konghucu.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


ByteDance Pilih Tutup TikTok di AS jika Opsi Hukum Gagal

6 menit lalu

Bendera AS dan logo TikTok terlihat melalui pecahan kaca dalam ilustrasi yang diambil pada 20 Maret 2024. REUTERS/Dado Ruvic/Illustration/File Photo
ByteDance Pilih Tutup TikTok di AS jika Opsi Hukum Gagal

TikTok berharap memenangkan gugatan hukum untuk memblokir undang-undang yang ditandatangani oleh Presiden Joe Biden.


Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan Lantik 6 Pejabat Eselon I dan II, Berpesan Waspadai Situasi Geopolitik Timur Tengah

17 menit lalu

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan melantik 3 pejabat eselon I dan 3 pejabat eselon II di Kementerian Perdagangan pada Jumat, 26 April 2024 kemarin. Doc. Istimewa/ Humas Kementerian Perdagangan.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan Lantik 6 Pejabat Eselon I dan II, Berpesan Waspadai Situasi Geopolitik Timur Tengah

Menteri Perdagangan melantik pejabat eselon I dan II. Dia berpesan agar siap menghadapi keadaan geopolitik Timur Tengah saat ini.


Halal Bihalal PKS, Prabowo dan Gibran Tak Hadir

18 menit lalu

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menggelar halalbihalal di Kantor DPP PKS, Jakarta Selatan pada Sabtu, 27 April 2024. Sejumlah pimpinan partai politik hadir dan lembaga negara hadir dalam acara ini. Tempo/Yohanes Maharso
Halal Bihalal PKS, Prabowo dan Gibran Tak Hadir

PKS menggelar halalbihalal di Kantor DPP PKS, Jakarta Selatan pada Sabtu, 27 April 2024.


Gejala dan Penyebab Narsistik yang Perlu Diketahui

20 menit lalu

Ilustrasi anak narsis atau foto selfie. shutterstock.com
Gejala dan Penyebab Narsistik yang Perlu Diketahui

Gangguan kepribadian narsistik rentan menyebabkan banyak masalah jika tak dikendalikan.


May Day, Partai Buruh Sebut akan Ada 50 Ribu Buruh Geruduk Istana

31 menit lalu

Presiden Partai Buruh Said Iqbal berorasi di hari pertama kampanye dalam aksi unjuk rasa buruh di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, 28 November 2023. Seluruh serikat pekerja terus mengawal tuntutan kenaikan upah buruh sebesar 15 persen yang akan ditandatangani oleh Pj Gubernur Jawa Barat hari ini. Buruh juga melakukan aksi unjuk rasa dan mogok kerja selama 3 hari sampai 30 November 2023. TEMPO/Prima mulia
May Day, Partai Buruh Sebut akan Ada 50 Ribu Buruh Geruduk Istana

Aksi May Day ini juga akan dilakukan serempak di seluruh Indonesia dengan melibatkan total ratusan ribu buruh


Badan Bank Tanah dan Polri Teken MoU Sinergitas Pelaksanaan Tugas dan Fungsi

41 menit lalu

Desain Bandara VVIP di IKN. Foto: Istimewa
Badan Bank Tanah dan Polri Teken MoU Sinergitas Pelaksanaan Tugas dan Fungsi

Badan Bank Tanah menandatangani nota kesepahaman dengan Kepolisian tentang sinergi pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pengelolaan tanah.


Umur Berapa Bayi Mulai Boleh Dipijat?

48 menit lalu

Ilustrasi pijat bayi. massagemag.com
Umur Berapa Bayi Mulai Boleh Dipijat?

Tak ada pedoman pasti kapan bayi mulai dapat dipijat untuk pertama kalinya.


Deretan Komentar Mengenai Kabinet Prabowo-Gibran

54 menit lalu

Deretan Komentar Mengenai Kabinet Prabowo-Gibran

Wakil Ketua Umum Golkar Ahmad Doli Kurnia berharap partai berlambang beringin ini mendapat tempat dalam kabinet Prabowo-Gibran


Klasemen Liga Spanyol: Kalahkan Sociedad 1-0, Kapan Real Madrid Juara?

55 menit lalu

Pemain Real Madrid melakukan selebrasi. REUTERS/Juan Medina
Klasemen Liga Spanyol: Kalahkan Sociedad 1-0, Kapan Real Madrid Juara?

Real Madrid kian kokoh di puncak klasemen Liga Spanyol setelah mengalahkan Real Sociedad 1-0 pada pekan ke-33. Simak skenario juara dan klasemennya.


Jakarta Peringkat 10 Kota dengan Udara Terburuk pada Sabtu Pagi

56 menit lalu

Foto aerial kondisi polusi udara di kawasan Pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara, Rabu, 13 Desember 2023. Berdasarkan data situs pemantau kualitas udara IQAir pada Rabu, konsentrasi polutan particulate matter 2.5 (PM2,5) di Jakarta sebesar 41 mikrogram per meter kubik dan berada di kategori tidak sehat bagi kelompok sensitif karena polusi. ANTARA/Iggoy el Fitra
Jakarta Peringkat 10 Kota dengan Udara Terburuk pada Sabtu Pagi

Pada Sabtu pagi pukul 07.02 WIB Indeks Kualitas Udara (AQI) di Jakarta berada di angka 122 atau masuk dalam kategori tidak sehat.