Dengan beras kasar yang kumakan, dengan air yang kuminum, seraya lenganku bertelekan ke sebuah bantalmasih kurasakan sukacita pada benda-benda ini.
- Konghucu
Benda-benda makin lama makin membuat jarak dari kita. Beras, air minum, dan bantal itu kita konsumsi dan kita pakai setiap harimungkin kita nikmatitapi di manakah kita?
Hari ini kita pergi ke sebuah mall di Jakarta. Di deretan etalase yang gilang-gemilang itu benda-benda diletakkan dengan jarak tertentu. Kalau bukan jarak fisik, ia jarak dari keseharian kita. Mereka tampak mengimbau karena mereka, seperti satu adegan film Avatar, bukan bagian dari malam dan siang kita yang lazim. Dan ketika kita ketahui harga mereka yang tak dapat diraih kebanyakan orang, makin jelas bagaimana benda-benda itu telah berubah.
Marx pernah berbicara tentang "festishisme komoditas": ketika komoditas jadi jimat, benda yang dianggap punya kesaktian, atau, dalam bahasa Portugis, feitio.
Pada waktu ia menulis itu, dalam jilid pertama Kapital, Marx belum melihat gaun Max Mara, tas Louis Vuitton, stoking Pierre Mantoux, jaket Gucci, yang dipamerkan dengan iklan besar atau dipasang di tubuh manekin langsing. Marx baru berbicara tentang beberapa potong kayu yang dijadikan meja, dan meja yang dijual di pasar. Syahdan, meja itu kemudian terlepas dari tangan sang pembuat yang berkeringat. Si meja kini seakan-akan berjalan sendiri, tampil untuk dipertukarkan dengan benda lain yang juga lepas dari tenaga sang produsen. Pada saat itu, hubungan yang terjadi praktis bukan lagi hubungan antara manusia. Manusia di luarnya.
Di depan etalase Emiglio Zegna, yang memajang kemeja dan pantalon yang necis, kita tak tahu siapa Emiglio Zegna. Kita tak peduli apakah itu nama sang desainer atau nama seorang aktor yang dipinjam untuk jadi merek. Kita mungkin kagum kepada desainnya, tapi tak peduli siapa yang merancang. Kita bahkan tak merasa perlu tahu siapa yang punya toko. Di pikiran kita hanya sederet pantalon, sederat jas, sederet hem. Apa yang dikatakan Marx tepat di sini: benda-benda itu kini menampilkan "sifat metafisik yang halus" dan "kesantunan theologis".
Tapi ada yang tak disebut Marx: kita datang ke mall itu bukan dengan kepala kosong. Kita bukan tabula rasa. Kita memilih pergi ke sana dan tertarik karena kita hidup di antara fantasi, mimpi, hasrat, yang sudah mengisi diri kita, bertaut dengan hal-hal yang telah membentuk impian sosial. Antara aku dan benda dalam etalase itu ada satu proses perantaraan, terutama oleh mediamajalah Dewi, Esquire, Kosmopolitan, film ala Hollywood, sinetron ala Raam Punjabi, dan entah apa lagiyang membentuk pelbagai markah: merek, gaya, potongan bentuk, bahkan mall itu seluruhnya menandai "kecantikan" atau "kegantengan" atau "kepatutan".
Berangsung-angsur, markah-markah itu jadi bagian dari kesadaran kita. Merekalah wakil atau representasi dari hal-hal yang sebenarnya tak akan dapat dihadirkan (bagaimana kita bisa menghadirkan "kecantikan"?), tapi terus-menerus kita hendak menjangkau. Dengan kata lain, markah-markah itu jadi penanda yang tak dihadiri oleh yang ditandai. Tapi mereka begitu kuat hingga kita ingin menyatukan diri dengan mereka. Penyatuan itu terjadi dalam "milik": kita ingin memiliki mereka, sementara kita juga dimiliki mereka.
Artinya, kita bukan dalam situasi Konghucu. Beras, air minum, dan bantal itu sudah berubah. "Apa yang dulu dialami dalam hidup secara langsung kini telah hanya jadi representasi," tulis Guy Debord, seorang Marxis yang masygul. Baginya, sejarah kehidupan sosial adalah sejarah merosotnya "ada" jadi "milik" dan "milik" jadi "penampilan". Kita hidup, kita ada, tetapi dalam kenyataannya kita dibentuk oleh "penampilan" yang mendorong kita memiliki.
Kita hidup dalam "masyarakat tontonan", la societe du spectacle. "Tontonan", yang punya akar pada kata Jawa "ton", menemukan contohnya pada mall itu. Tontonan, tulis Debord, "bukanlah sebuah himpunan imaji, melainkan persesuaian sosial antara orang-orang, yang diperantarai oleh imaji-imaji."
Debord, seperti saya singgung tadi, menilai keadaan ini sebagai kemerosotan. Bukunya, La societe du spectacle, adalah tafsir yang lebih jauh atas sinyalemen Marx bahwa di bawah kapitalisme, manusia sebenarnya hidup dalam "alienasi", dalam "keterasingan": aku terasing dari tenaga kerjaku sendiri ketika tenaga kerja itu jadi komoditas yang tak aku kuasai; aku terasing dari benda yang aku hasilkan, ketika benda itu diperjualbelikan; aku terasing dari orang lain yang akan membeli dan menggunakan benda itu.
Dalam analisis Debord, keterasingan manusia, sebagai penonton, ada dalam posisi yang agak berbeda: ketika sang penonton (alias sang konsumen) makin meletakkan diri dalam dominasi markah-markah yang menandai kebutuhan, ia akan makin kurang ada bersama eksistensinya sendiri. Ia minum kopi, baca koran, mengunyah kue, pergi main golf, pergi ke mall: tontonan itu ada di mana-mana. Dan sang penonton? Ia bersama mereka, di mana-mana. Ia tak berumah.
Tapi saya tak bisa mengatakan ia tak bersukacita. Mungkin tak seperti Konghucu. Mungkin itu kebahagiaan hidup yang palsu. Tapi adakah yang asli yang bisa kita temui tanpa representasi? Terutama ketika kapitalisme membangun markah terus-menerus untuk menunjukkan tentang apa yang kita butuhkan?
Kita boleh berharap kapitalisme akan runtuh kelak. Tapi harus diakui, harapan itu makin tipis. Maka apa yang harus dilakukan? Mungkin bersahaja: kita harus ingat, kita punya subyektivitas yang cukup untuk mencoba merebut kembali "ada" dari "milik" dan "penampilan".
Kita sesekali perlu sejenak jadi Konghucu.
Goenawan Mohamad