Arfanda Siregar, Dosen Politeknik Negeri Medan
Zaman sekarang pejabat tak boleh lagi seenaknya menerima parsel. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggolongkan parsel sebagai gratifikasi, khususnya yang diberikan kepada penyelenggara negara dan pegawai negeri. Jika tidak berhati-hati, si penerima bisa menjadi tawanan KPK.
Larangan KPK menerima parsel bukan tak beralasan. Sudah bukan rahasia umum bahwa parsel sering dijadikan kedok untuk menjaga "hubungan mesra" antara pemberi parsel dan pejabat negara. Kalau yang memberi bawahan, parsel ditujukan untuk sarana cari muka dengan atasan agar kedudukannya tetap langgeng. Sedangkan bagi relasi bisnis dan mitra kerja, parsel merupakan penyambung "kemesraan" dengan pejabat berwenang supaya urusan bisnisnya tidak dipersulit pejabat bersangkutan.
Ada istilah no free lunch. Tidak ada pemberian yang tak menuntut imbalan. Selalu ada maksud tersembunyi di balik pemberian parsel atau bingkisan Lebaran. Bagi pengusaha, uang jutaan rupiah yang dikeluarkan untuk parsel tidak membebani saku mereka. Selama pengeluaran berfungsi untuk melicinkan kepentingan usaha, berapa pun dana akan dianggarkan untuk membeli parsel. Dalam konsep ekonomi, uang untuk parsel digolongkan sebagai biaya kesempatan (opportunity cost), yaitu biaya yang harus dikeluarkan demi mendapatkan keuntungan masa depan.
Dalam pandangan Islam, parsel tak berbeda dengan hadiah. Sejak dulu budaya memberi hadiah, seperti parsel, telah menjadi tradisi di Tanah Air. Masyarakat muslim Sunda mengenal istilah tumis dan rantang, muslim Padang mengenal tradisi bako, dan masyarakat Flores menjalankan tradisi kado Lebaran. Semua tradisi itu sama persis seperti tradisi parsel yang berkembang biak menggantikan tradisi-tradisi kedaerahan.
Baik secara historis, kontekstual, maupun ritual Islami, seluruh rangkaian kegiatan Lebaran, baik berbentuk buka puasa bersama, mudik, mengirim parsel, maupun halalbihalal, merupakan sarana mengefektifkan kembali komunikasi sesama manusia. Pemberian parsel bermakna silaturahmi, bukan sekadar menjaga kedudukan dan relasi bisnis. Sungguh sangat sempit pandangan yang menyatakan parsel sebanding dengan korupsi.
Bersilaturahmi (berkomunikasi) berkaitan erat dengan kesehatan fisik. Ada pakar yang menunjukkan bahwa orang yang terkucil secara sosial cenderung lebih cepat mati. Kemampuan berkomunikasi (bersilaturahmi) yang buruk memicu penyakit jantung koroner, dan kemungkinan terjadinya kenaikan tingkat kematian pada orang yang ditinggal mati oleh pasangan hidupnya (Tubbs dan Moss,1994).
Realitas itu, bagi umat Islam, sudah merupakan keyakinan dan kewajiban yang harus dilaksanakan karena sesuai dengan sabda Rasulullah SAW bahwa silaturahmi dapat memperpanjang usia. Memberikan parsel atas dasar silaturahmi dan kecintaan sangat dianjurkan, apalagi yang menerima bingkisan itu adalah mereka yang lemah secara finansial.
Yang penting diingat pada pemberian parsel tersebut adalah kewajaran. Kalau bingkisan tersebut berupa makanan, minuman, buku, dan sejenisnya, saya pikir tak ada yang salah dengan parsel tersebut. Tapi, kalau parsel tersebut berupa kunci mobil, rumah, dan segepok uang, tentu tujuan pemberian parsel bukan memperpanjang usia. Bisa-bisa malah memperpendek usia karena harus menghabiskan sisa umur di rumah tahanan KPK.