Dianing Widya, novelis, pegiat sosial di Spirit Kita, @dianingwy
Kasus Angeline menjadi cermin bagi semua pihak betapa kekerasan terhadap anak, bahkan yang berakibat kematian, begitu mencemaskan. Berdasarkan data Komnas Perlindungan Anak, pada 2011 ada 2.462 kasus, naik lagi pada 2012 sebanyak 2.637 kasus. Tahun berikutnya, 2013, naik fantastis hingga 3.339 kasus. Pada 2014, ada 2.750 kasus. Lalu, pada tahun ini, hingga Mei, sudah terdata 339 kasus.
Boleh jadi kasus yang tidak terdata lebih banyak lagi. Namun angka-angka tercatat itu saja telah menjadi horor bagi kehidupan anak-anak kita. Ini bukan angka main-main. Ironisnya, kekerasan terhadap anak justru sering kali terjadi di tempat yang semestinya menjadi tempat yang nyaman bagi anak, yakni di rumah dan sekolah.
Artinya, kekerasan terhadap anak justru sering dilakukan oleh orang terdekat, seperti orang tua, saudara, juga guru. Banyak faktor yang membuat kekerasan terhadap anak terjadi. Salah satunya adalah kurangnya pengetahuan orang tua/dewasa terhadap hak anak serta jaminan hidup bagi anak. Dalam masyarakat kita, anak sering kali dianggap sebagai sosok yang harus patuh, harus menurut apa saja kata orang yang lebih tua, termasuk orang tua dan guru. Mereka tidak punya daya tawar untuk bisa mengekspresikan keinginan dan kemauannya.
Apabila anak kurang patuh, kurang memuaskan pekerjaannya saat membantu orang tua, anak sering kali dijatuhi hukuman, mulai kekerasan psikologis (seperti makian, cemoohan, dan lain-lain) hingga tindakan fisik (kekerasan), termasuk hukuman dikurangi uang sakunya. Di sekolah sama saja: anak yang kurang patuh, misalnya tak mengerjakan tugas, bisa mendapatkan sanksi dari guru berupa, dari berdiri satu kaki di depan kelas hingga membersihkan toilet.
Orang tua maupun guru kerap berdalih apa yang mereka lakukan sebagai bagian dari "pelajaran" agar anak-anak bertanggung jawab. Mereka lupa, kekerasan ringan itu sering kali tak disadari sebagai benih kekerasan baru. Kelak ketika dewasa, si anak akan menularkan kebiasaan buruk itu ke generasi berikutnya. Akhirnya, kekerasan demi kekerasan akan menjadi lestari. Sebab, kekerasan itu sudah "dilegalkan" dan diajarkan sejak dini, sejak seorang anak masih kecil.
Negara pun belum secara intens mengajari warganya untuk menghormati dan memanusiakan anak. Sejak mengurus administrasi nikah hingga proses melahirkan di rumah sakit pun, tak ada pedoman atau penyuluhan khusus kepada orang tua mengenai pentingnya menghormati dan menghargai anak.
Beruntunglah anak yang lahir dalam keluarga yang mengerti hak anak. Sayangnya, sebagian besar masyarakat kita kurang memahami hal itu. Sebab, sekali lagi, kultur masyarakat kita menempatkan anak dalam posisi sebagai obyek yang berada di bawah dominasi orang tua. Kurangnya pemahaman orang tua dalam memperlakukan anak itu diperparah dengan sikap acuh tak acuh dalam masyarakat kita. Sebagian besar masyarakat kita tak peduli terhadap anak orang lain.
Jadi, perilaku masyarakat benar-benar tidak berpihak kepada anak. Padahal, pada dasarnya anak sama dengan orang dewasa. Ia adalah makhluk Tuhan yang tubuh dan jiwanya mesti kita hargai, hormati, dan kita jamin hidupnya. Dalam diri mereka terdapat eksistensi Tuhan sebagai pencipta. Karena itu, dengan menghargai dan memuliakan anak, kita menghargai dan menghormati Tuhan.