Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
Kementerian Perhubungan (Kemhub) memperkirakan, secara nasional, tidak kurang dari 20 juta pemudik akan menggunakan kendaraan umum (bus, kereta api, pesawat, kapal laut), kemudian 1,6 juta pemudik akan menggunakan roda empat, dan 2,5 juta lainnya adalah pemudik sepeda motor. Seperti biasanya, fenomena mudik yang paling menggetarkan adalah mudik dari Jakarta menuju Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Selain kecelakaan lalu lintas, "penyakit" prosesi mudik adalah kemacetan di sepanjang tol Cikampek dan/atau jalur Pantura. Kemacetan bisa mencapai puluhan kilometer, dan puluhan jam lamanya. Tapi mudik kali ini diprediksi akan lebih lancar, nir-kemacetan. Pasalnya? Ya, dengan bangga pemerintah mensinyalir kemacetan akan terurai setelah tol Cipali (Cikopo-Palimanan) selesai dibangun dan mulai beroperasi sejak 27 Juni 2015. Diprediksi dengan beroperasinya tol Cipali, volume kendaraan (traffic) di Pantura akan berkurang hingga 50 persen.
Benarkah tol Cipali akan mampu menjadi juru selamat? Berkaitan dengan volume traffic, boleh jadi prediksi itu benar, bahwa tol Cipali akan mampu mengurai kemacetan di Pantura, atau bahkan di tol Cikampek. Biasanya, saat mudik, kemacetan di tol Cikampek terpenjara oleh Simpang Jomin, yang kontur jalannya memang menyempit dan menikung. Simpang Jomin inilah yang biasanya mengunci arus lalu lintas dari arah Jakarta. Kemacetan yang ditimbulkan bisa memakan waktu sehari. Dengan akses tol Cipali, pemudik dari arah tol Cikampek memang tidak perlu lagi melewati Simpang Jomin, melainkan langsung masuk ke tol Cipali, via Cikopo. Dari titik ini, memang, hantu kemacetan bisa teratasi.
Tapi tunggu dulu, itu baru pada langkah pertama saja. Hantu kemacetan berikutnya akan menyandera pemudik di dua ruas tol, yakni tol Palimanan (Cirebon), dan bahkan tol Pejagan (Brebes). Selama ini, saat arus mudik di kedua ruas tol itu tak kalah macetnya dengan tol Cikampek, dan Pantura. Apalagi di tol Pejagan, arus lalu lintas akan menumpuk karena ujung jalan tol Pejagan mengalami penyempitan, baik yang menuju ke arah Tegal dan/atau ke arah Purwokerto. Dengan demikian, tol Cipali hanya akan mampu memindahkan kemacetan belaka, bukan mengatasi kemacetan. Bahkan kemacetan di Tol Palimanan dan Pejagan akan jauh lebih parah daripada biasanya, setelah air bah kendaraan membanjir dari arah Jakarta. Di sisi yang lain, timbul permasalahan yang lebih mengerikan dari tol Cipali, yakni soal keselamatan pemudik.
Bagaimanapun beroperasinya tol Cipali patut diapresiasi. Kemampuan tol Cipali, yang sepanjang 116,7 km, memang bisa mengurangi beban arus di Pantura yang memang sudah sangat padat dan berat. Meski demikian, diperlukan rekayasa manajemen lalu lintas (traffic engineering) yang sangat kuat dan cerdas agar fungsi tol Cipali tak hanya mampu memindahkan kemacetan belaka. Tanpa rekayasa lalu lintas yang kuat dan cerdas, tol Cipali, yang dibangun dengan biaya lebih dari Rp 12 triliun, akan mubazir saja. Apalagi untuk menekan tingginya kasus kecelakaan di tol Cipali, tak hanya diperlukan rekayasa teknis, tapi juga rekayasa sosiologis. Tanpa hal itu, tol Cipali hanya akan menjadi killing field yang sangat mengerikan bagi pengguna jalan tol itu sendiri. *