Chandra Budi, bekerja di Ditjen Pajak
Direktur Jenderal Pajak Sigit Pramudito memperkirakan realisasi penerimaan pajak tahun ini hanya akan mencapai 90 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN-P 2015 (2 Juli 2015). Indikasi ini tecermin dari kinerja penerimaan pajak semester I 2015 yang hanya mencapai Rp 183,7 triliun atau 31,9 persen dari target APBN-P, walaupun dibandingkan dengan realisasi tahun lalu tetap tumbuh 0,5 persen.
Tentunya, capaian penerimaan perpajakan tersebut erat kaitannya dengan geliat ekonomi Indonesia yang masih tumbuh melambat. Sementara itu, tuntutan agar Ditjen Pajak mampu mencapai target pajak merupakan suatu keniscayaan. Lantas, bagaimana solusi jitu mengatasi masalah ini? Banyak pihak, termasuk dari kalangan pengusaha, menyarankan agar dibuka keran pengampunan pajak (tax amnesty).
Skema tentang pengampunan pajak masih didiskusikan di antara pihak terkait. Muncul perdebatan ketika pengampunan pajak ini juga memasukkan klausul pengampunan atas sanksi pidana tertentu, seperti korupsi, pencucian uang, serta perusakan hutan dan lingkungan hidup. Pihak yang setuju justru menganggap klausul tersebut sebagai daya tarik bagi wajib pajak untuk berpartisipasi dalam program pengampunan pajak. Maka, hitungan dana masuk dari luar negeri sekitar seribu triliun dengan tebusan pajak sekitar seratus triliun sangat mungkin terwujud. Sebaliknya, pihak yang tidak setuju menganggap klausul tersebut mencederai semangat pemberantasan korupsi. Negara dapat dikatakan melegalkan uang haram melalui program pengampunan pajak ini.
Di negara-negara maju, pengampunan pajak bertujuan meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak melalui pemberian insentif khusus, yang biasanya dalam jangka waktu relatif singkat. Pun, di negara-negara tersebut tersedia insentif berupa pembebasan pidana penjara (imprisonment) bagi wajib pajak yang mengikuti program ini, dengan kondisi yang berbeda-beda. Di Australia, misalnya, pidana penjara tidak akan dikenakan bagi pelaku kecurangan (fraud) untuk ancaman maksimal 10 tahun penjara. Berkaca dari kondisi ini, sebenarnya insentif pengampunan sanksi pidana merupakan hal umum yang ditawarkan di banyak negara ketika menjalankan program pengampunan pajaknya.
Selain kisah sukses program pengampunan pajak di Amerika Serikat, ada negara yang justru gagal menjalankan program ini. Di Rusia, program pengampunan pajak dikenalkan pada 1 Maret 2007. Program ini mengizinkan wajib pajak orang pribadi untuk membetulkan pembayaran pajaknya tanpa kemungkinan menghadapi tuntutan tindak pidana. Setelah membetulkan pembayaran pajaknya, mereka akan terbebas dari segala tuntutan atas tindak pidana yang dilakukannya. Tapi, setelah batas waktu yang ditetapkan berakhir, 31 Desember 2007, tidak banyak wajib pajak orang pribadi yang berpartisipasi. Ini disebabkan besarnya tarif tebusan yang mencapai 13 persen dari jumlah penghasilan yang dilaporkan.
Pengampunan pajak merupakan cara cepat untuk mendongkrak penerimaan pajak. Agar sukses menjalankan program ini, Ditjen Pajak harus mempersiapkan beberapa hal penting. Misalnya, legalitasnya harus berdasarkan UU, bentuk insentif pengampunan sanksi pidana diatur sedemikian rupa sehingga sangat terbatas peruntukannya, dan besaran tarif tebus bercita rasa keadilan. *